Love you like a brother
Treat you like a friend
Respect you like a loverSure Thing - Miguel
---
Malam itu setelah kami memutuskan untuk membatalkan pergi kerumah Ibu, aku dan Niga akhirnya berbicara. Kami duduk diatas sofa kamar. Saling berhadapan. Televisi tidak dinyalakan dan kami sepakat sejenak mengaktifkan mode pesawat pada ponsel. Sengaja membiarkan suara dan keberadaan kami diselimuti keheningan.
Niga berdeham untuk pertama kali, mulai membaurkan suaranya dalam sepi ini. Aku membuat gestur yang mengisyaratkan bahwa dalam keadaaan sadar, aku mendengarnya dan siap mendengarkan sepanjang ceritanya. "Jadi, kamu janji jangan salah paham?" Tanyanya memulai percakapan.
Kunaikkan sebelah kedua kaki ke atas sofa. Bersila dan sepenuhnya menghadap Niga. Ah! Dia ini membuatku semakin penasaran dan curiga saja. Dari perjalanan pulang tadi dia terus menanyakan agar aku jangan sampai salah paham. Sudahlah, segera kuanggukkan kepala lemah dan berkata "Ng-hem."
Kuamati, Niga bergerak gelisah dalam duduknya. Namun aku tidak berusaha mengusik atau mengambil inisiatif untuk menegurnya. Aku terus menunggu.
"Itu, eeng, beberapa hari yang lalu—" sabar, aku sabar menunggu jeda yang Niga munculkan dalam kalimatnya.
"Aku dengar kabar—" aduh, kenapa aku merasa tidak enak.
"kalau Dinar mengalami KDRT.."
Deg!
Tadi itu Niga menyelesaikan kalimatnya dengan nada yang menurun dan kepalanya sedikit menunduk.
Dinar! Ternyata itu yang ia pilih untuk menguraikan alasan atas 'kelakuannya anehnya' akhir-akhir ini.
Perlahan-lahan ia mengangkat kepala lagi, telunjuk kanannya mengusap ujung hidungnya—yang aku yakin 100% itu sedang tidak gatal sama sekali. Itu hanya gestur gugupnya, gestur yang tanpa ia sadari selalu ditunjukkan sebagai tanda ia sedang bingung, sungkan, merasa tidak enak, dan tidak tahu harus berkata apa.
Niga sedang mencari tanggapanku.
Kuambil nafas dalam-dalam lalu kutahan sejenak, seperti sengaja mengumpulkan sebanyak mungkin udara dalam rongga dada yang akan kugunakan untuk meniup api yang kurasai menyala mengelilingiku hingga padam. Pada detik ketiga, nafas itu kukeluarkan, namun tidak jadi kuhembuskan keras-keras. Alih-alih, kuhembuskan sa~ngat pelan seperti latihan nafas yang biasa kulakukan saat latihan yoga.
"Terus?" Ucapku dengan nada bicara yang datar. Sangat datar.
Ekspresi melongo sekejap tercetak di wajahnya. Lalu kembali digantikan ekspresi bingung. "Ya, aku kasihan— ehm, katanya parah, sampai masuk rumah sakit.."
"Sebagai apa?"
"Hah?" Tanya Niga bingung menghadapi pertanyaanku.
"Ya kamu kasihan sebagai apa? Kamu yang kasihan sama dia sebagai apa? Kamu kasihan sama Dinar sebagai apa?!" Tanpa sadar nada bicaraku semakin naik di tiap kata yang kuucapkan. Itu benar-benar diluar kendaliku.
Suasana yang sudah kaku menjadi semakin kaku. Niga terlihat ingin menjawab tapi tidak ada suara yang ia keluarkan. Hanya bibirnya saja yang bergerak samar. Menghembuskan nafas, aku meminta maaf atas perkataanku dengan pelan. "Maaf."
Tanganku ia raih. Dielus pelan dan halus. "Sayang, aku tahu kamu bakal begini,"
Tatapannya tak lepas dari tanganku. "Aku nggak tahu aku salah atau enggak. Aku cuma nggak rela aja dengar keadaan Dinar. Apalagi pas aku tengokin dia di RS,"
Spontan aku menarik tanganku dari genggamannya. "Sayang," katanya pelan. Tentu saja ia beralih menatapku, sebisa mungkin kuhindari tatapannya. "Kamu udah janji buat nggak salah paham"
What? Iya kali siapa yang nggak salah paham?
Huuuft, sabar Ari, sabar. Kita coba dengarkan dulu.
Kulemaskan otot-otot mukaku dan memberi gestur lewat gerakan mata agar ia melanjutkan bicara. Tetapi Niga malah menjawab "Enggak, nanti kamu bisa ngamuk kalo belum siap dengar"
So what the hell! Dalam keadaan seperti ini, siapa yang nggak bakal kesal dan salah paham mendengar kalimat seperti itu? Rasanya tekanan darahku sudah melejit, sampai kurasai panas mencapai ubun-ubun. Aku bangkit berdiri dan menghindari Niga yang berusaha meraihku. Keluar kamar dan (tidak sengaja sebenarnya) kubanting pintu. Menuruni tangga dengan gusar dan pada saat menginjak anak tangga terakhir, aku melihat Papa keluar dari kamarnya yang berada di lantai bawah. Nampaknya Papa bingung setelah mendengar suara bantingan keras pintu dan diriku yang berjalan dengan wajah suram. Aku dan Papa sempat saling pandang beberapa detik, (aku tahu ini tidak sopan) tapi kemudian aku melengos dengan terus berjalan menuju dapur. Kuambil sebuah gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser. Aku melongokkan kepala keluar dapur, tidak ada tanda-tanda Niga mengikuti. Huh! Biarkan saja.
Membawa segelas air ke ruang keluarga dan meletakkannya di meja, lalu kunyalakan TV. Kini aku duduk berselonjor di sofa malas dan juga aku tahu bahwa malam ini aku akan merenung di sofa ini.
Aduuh begini ya, ada apa sih dengan diriku? Aku cemburu? Iya! Kenapa? Ya karena si breng-, si Niga itu masih aja berhubungan sama si sun-, si Dinar yang notabene adalah cinta pertama sekaligus perempuan yang hampir dinikahi Niga! Mau dinikahi pemirsa! Dan lagi cinta pertama! Uh!
Air mata entah sejak kapan sudah meleleh melewati pipiku. Dinginnya malam yang menembus jendela yang kurang ditutup rapat juga menembus diriku. Aku berbaring melingkar, menatap televisi, namun pikiranku membeku bersama dingin itu. Dalam hati aku berharap akan segera terlelap lalu terbangun esok pagi dengan hilangnya potongan masa lalu Niga bersama Dinar.
***
To be continued, please kindly waiting this story. Thank You!
KAMU SEDANG MEMBACA
HOW I LOVE YOU
RomanceKisah tentang proses mencintai seseorang yang sebelumnya sangat asing. Ariana, atau akrab dipanggil Ari, sedang patah hati karena hubungannya dengan kekasih kandas. Ia kira hanya butuh beberapa waktu untuknya menyembuhkan diri. Namun sepertinya just...