But you'll never be alone
I'll be with you from dusk till dawn
I'll be with you from dusk till dawn
Baby, I am right hereDusk Till Dawn, Zayn Malik
---
"Mmh, apaan,sih." Setengah sadar tanganku berusaha melepaskan sesuatu yang berat diatas perutku. Aku tahu itu pasti tangan Niga. Sudah biasa aku terbangun begitu saja saat tidur karena sesak nafas entah itu gara-gara tangan Niga yang memeluk erat tubuhku atau bahkan dijatuhkan begitu saja membebani dadaku.
Aku baru saja akan mengeluh lagi, namun aku baru teringat dimana aku sekarang. Tadi, kan aku terisak-isak di sofa ruang tengah.
Berkedip beberapa kali sambil meyakinkan diri sendiri, setelah sangat yakin apa yang tadi terjadi, wajahku yang menghadap punggung sofa kuhadapkan kebelakang.
"Jangan gerak, nanti aku jatuh" ucap seseorang dibelakang punggungku. Tangannya semakin dilingkarkan erat pada pinggangku. Aku terdiam saja, bahkan saat tangannya yang satu di selundupkan melewati leherku. Justru aku ikut bergerak mengangkat kepala dan akhirnya bersandar pada dada Niga.
Aku diam saja, mengingat perasaanku, dan meredamnya sendiri. Kecupan Niga pada kepalaku seakan ikut mendukung usahaku meredam hati. Entah, hanya saja rasa kesal yang tumpah bersama tangis tadi menjadi lenyap saat ini.
Aku bergerak membenarkan posisi kepala, muka kembali menghadap punggung sofa. Niga juga bergerak semakin maju, mencari-cari ruang agar tubuhnya tidak terjatuh.
Aku diam, amarahku tenang, namun aku tidak bisa kembali tidur. Aku baru tahu bahwa rasa cemburu begini menyebalkan. Pikiran-pikiran aneh yang sempat pergi segera saja kembali hadir dalam kepalaku.
Kurasai kaki Niga dibelitkan pada kakiku. Dingin di telapak kaki kini samar terasa. Secepat ia datang, secepat itu pula rasa kesal pergi.
"Maaf, jangan marah,ya" getaran suara Niga terasa pada punggungku. Rasa hangat semakin datang lagi, dingin semakin pergi.
Ada jeda yang cukup lama sebelum aku berkata, "aku nggak bisa tahan"
Terkadang mencintai Niga membuatku kesal juga. Karena semarah apapun diriku tidak bisa mengacuhkan dirinya. Semacam ada perasaan yang tidak bisa lepas, tidak bisa terlampiaskan. Aku tidak bisa menjadi diriku sendiri ketika sedang marah kepada Niga. Aku adalah tipe orang yang meledakan amarah sampai puas lalu setelah itu dijamin aku tak akan kembali bersentuhan dengan sesuatu yang membuatku marah itu. Sekali membuat marah, tak akan lagi kudekati. Selain itu, justru hanya kepada Niga lah diriku yang sebenarnya dapat ku tunjukkan.
Kepada Niga, aku tertawa saat merasa lucu, aku menangis saat bersedih, aku mengeluh saat merasa lelah, aku menggerutu saat ada sesuatu terjadi yang tidak seperti harapanku, saat marah kepada orang lain aku juga bisa meledakkannya dihadapan Niga, namun anehnya saat marah, merasa dikecewakan, dan sakit hati kepada Niga, aku justru menangis. Mungkin bisa aku meledak, tapi untuk mendiamkankannya aku tak bisa.
Niga seperti seorang pawang emosiku. Dia tahu aku sedang beremosi seperti apa dan bagaimana seharusnya ia bertindak. Aku tidak tahu bagaimana ia mempelajarinya, mungkin karena aku mudah dibaca(?) Aku juga tidak tahu sejak kapan ia menguasai keahliannya itu, terkadang semua sikapnya menjadi sangat jelas dan disaat itu aku menyadari bahwa Niga mampu mengendalikan diriku.
Sebuah tangan mengelus kepalaku, halus sekali dan pelan. Ketika elusan itu berhenti, ganti tangan itu membelai kening, lalu turun pada pipi dan bibirku. Lama sekali jemarinya menyentuh bibir bawahku dan baru beralih ketika bulir air mata jatuh pada pipiku. Niga mengusapnya.
"Maaf," ucapnya lagi
"Kamu jelasin,dong. Jangan cuma minta maaf!"ucapku sambil menahan tangis agar tidak keluar lebih deras.
"Sayang, aku cinta sama kamu. Aku memang telah berbuat salah, aku sempat memikirkan Dinar lagi- Ari, please jangan nangis." Tiba-tiba Niga sudah berada diatasku. Langsung saja kututupi wajah menggunakan tangan dan terisak-isak dibaliknya. Aku tahu, Niga, aku tahu kamu tidak akan mudah melupakan dia.
Ditarik-tarik tanganku agar lepas dari wajah, namun aku tetap mempertahankannya, sampai Niga berkata, "berhenti nangis dulu atau aku nggak akan pernah cerit."
Diancam begitu, tangisku kemudian mereda. Meski masih sesenggukan, akhirnya aku dapat menghentikannya. Ditunggui oleh Niga sampai aku tenang, dia tetap bertahan pada posisinya, lalu ditarik tangan yang menutupi wajahku. Disaat seperti ini, aku malah teringat suatu pernyataan psikologi kalau pria tidak menyukai wajah wanita yang menangis. Langsung,dong, kututup lagi wajahku menggunakan lengan.
Setelah menghela nafas yang sampai aku dapat mendengarnya, Niga mulai melanjutkan ceritanya. Pelan-pelan, sambil mengamati responku.
"Aku gak sengaja lihat Dinar di UGD, pas aku samperin, aku lihat lebam-lebam ditubuhnya. Dari situ aku tahu itu bukan luka karena jatuh, itu luka akibat dipukul. Aku tanya dia kesini sama siapa. Dia bilang, dia datang sendirian, Ari. Lalu aku nggak tanya apa-apa lagi, tapi dia yang kemudian mulai nangis, dia tetep nggak cerita apa-apa. Dia malah minta tolong aku buat urus administrasinya, karena dia sendirian." Kalau diriku membiarkan dikuasai rasa cemburu, maka kalimat pertama Niga saja yang akan kudengar. Jadi dia ketemu Dinar langsung?!
Tapi aku ingin tidak ada kesalahpahaman dengan Niga. Aku ingin segalanya menjadi jelas hari ini. Sekuat tenaga, kuatur emosiku sendiri. Melihat responku yang masih diam, Niga melanjutkan ceritanya.
"Kamu tahu kalau aku dulu ada rasa sama dia, dulu. Dulu, Ari." Kembali Niga diam, dari nadanya bicara yang sangat pelan itu, aku tahu dia sedang berhati-hati.
"Aku nggak akan bohong kalau dulu emang sulit buat aku melupakan Dinar. Sekarang rasa cinta aku udah nggak ada, tapi juga ada rasa nggak terima melihat keadaan Dinar seperti itu. Kamu juga tahu bedanya perasaan antara pernah punya rasa dan tidak."
Tahan Ari, tahan!
"Aku sendiri juga merasa bersalah hari itu, kenapa aku merasakan perasaan itu. Tapi dalam batinku meyakinkan kalau aku cuma merasa kasihan sama dia. Yang buat aku uring-uringan, itu karena konflik batin aku sendiri. Aku merasa bersalah sama kamu, tiap ingat kamu,lihat kamu, aku ingat kalau aku mencintai kamu saat aku juga ingat kesalahanku sempat mengkhawatirkan Dinar."
Aku tidak tahan, aku ingin meledak, mendengar pengakuan Niga membuat panas didada, tapi justru air mataku yang meluruh. Tanpa suara, aku menangis.
"Sekarang, aku mau buat segalanya pasti. Aku mau buat batas-batas dengan jelas. Yang aku cintai itu kamu, pada Dinar saat itu aku hanya merasa kasihan, dan sedikit rasa dari masa lalu memang sempat membuatku bingung. Tapi aku sudah tidak mau memikirkannya. Aku sudah bantu Dinar, jadi sudah ada kelegaan dalam diriku, itu sudah cukup. Aku hanya ingin fokus pada kamu, Ari." Niga berhenti berbicara, lalu seakan diantara kebimbangan akan mengatakannya atau tidak, ia terlihat mengambil jeda.
"Aku tahu kamu cemburu, maaf. Aku juga tahu cemburu itu berat, maaf. Bukan maksud membalas dendam atau apa, tapi aku sudah pernah merasakan bagaimana cemburu itu membakarku. Ketika aku telah jatuh cinta pada kamu, tapi kamu tidak. Kamu masih mencintai mantan kamu. Aku pernah merasakannya lebih dulu,Ari, jadi maaf."
Kenapa jadi disangkutkan pada diriku? Mengapa membahas masa laluku?
Tidak terima, kusingkirkan lenganku dari wajah dan akan memprotes. Namun sebelum sepatah katapun keluar dari bibirku, Niga telah membungkamnya.
***
Awww! Mas Niga,ihh. Habis ngaku dan bikin cemburu, eeh dibikin diem tuh si Ari. :D
Jangan lupa vote dan komentar dari kalian,ya! Terimakasih.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOW I LOVE YOU
RomanceKisah tentang proses mencintai seseorang yang sebelumnya sangat asing. Ariana, atau akrab dipanggil Ari, sedang patah hati karena hubungannya dengan kekasih kandas. Ia kira hanya butuh beberapa waktu untuknya menyembuhkan diri. Namun sepertinya just...