[-B]BLANK SPACE

1K 36 0
                                    

'Cause we're young and we're reckless
We'll take this way too far

Blank Space, Taylor Swift

---

Diruang makan, aku duduk cemberut. Bagaimana tidak? Kecurigaanku menjadi nyata. Setelah sebelumnya, ibu dan ayah mendadak selalu menanyaiku macam-macam mengenai pernikahan.

Kapan aku berencana menikah?
Apakah calonnya sudah ada?
Siapa namanya?
Apa profesinya?
Orang tuanya?

Dan aku menyesal, amat menyesal telah menjawab segala pertanyaan itu dengan jawaban yang bernada TIDAK. Walau sebenarnya saat itu benar-benar tidak ada pria yang menjadi pacarku, dan aku juga benar tidak tahu kapan akan mengakhiri waktu lajang. Tapi aku sayang mantan dan masih ingin melajang. Skripsi saja belum beres, masih ingin menjadi wanita dewasa yang bekerja.

Sekarang, semua keinginanku terancam gagal. Menikah di usia 21 tahun, apalagi dijodohkan. Ini jaman apasih?

Meski tadi saat tamu kami datang , aku sempat tidak bernafas mengetahui siapa anak teman ayah yang akan di kenalkan padaku. Tampan, benar-benar tampan. Mantan yang kusayang saja kalah ketampanannya. Tapi...

"Wah! Hebat banget nak Niagara ini, ya. Beda sama anak saya" karena dia, sedari tadi ibu tak henti merendahkan anaknya sendiri. Aku sudah berulang kali bertukar tatapan dengan Genta-kami sama-sama sebal.

Dia seorang dokter. Usianya 26 tahun. Sudah kerja di rumah sakit kenamaan. Sedang mempersiapkan tempat dan sarana untuk membuka praktek pribadi.

Beda! Jelas beda denganku. Yang belum jelas akan bekerja dimana setelah lulus. Apalagi lapangan pekerjaan yang menampung serta diinginkan mahasiswa sastra inggris sangat sempit. Dan adikku, masih luntang-lantung mencari universitas selepas lulus dari SMA-nya.

Dan apa-apaan tiga orang tua ini-ibunya sudah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu, Genta sudah mengaku salah tadi menanyakanya. Mereka berbincang seolah sudah fix menjodohkan kami. Obrolannya sudah merembet tentang dimana kami akan tinggal setelah menikah. Sebaiknya di rumah orang tua Niagara saja, menemani papanya agar tidak kesepian-Niagara anak tunggal.

Mereka fix, sedangkan aku? Hei, yang kalian bicarakan itu tentang diriku. Hidupku!

Aku sayang mantan. Hiks.

Mataku bertubrukan dengan Niagara. Dia juga membuatku sebal. Bukannya merendah saat di elu-elukan oleh ibu, malah tersenyum seolah mengiyakan. Cih, sombong.

"Permisi, mau ke belakang sebentar" aku pamit kepada semua yang berada di meja makan.

Aku sukses mendapat pelolotan ibu saat memundurkan kursi dan menimbulkan derik yang nyaring dan kasar. Aku tersenyum kecut pada semuanya. Serta merta aku pergi secepatnya dari sana. Menuju kamar mandi di dekat dapur.

Setelah sepuluh menit di kamar mandi-padahal juga nggak ngapa-ngapain, di dapur yang terpisah dari ruang makan, aku mengibas-ibaskan rok wiru selutut yang kupakai.

Kezel gila!

Tadi juga, aku sempat bertengkar dengan ibu karena dia memaksaku untuk memakai rok ini-rok ibu jaman dulu kala.

Nggak modis banget.

Akhirnya, aku yang mengalah. Tau sendiri, ibu selalu benar. Aku mengakali bagaimana caranya supaya rok-nggak-banget-ini menjadi lebih lumayan. Mau memotongnya menjadi di atas lutut, nggak mungkin, aku nggak punya skill merombak.

Tapi, memadukannya mungkin keahlianku. Aku keluar dari kamar setelah mematut diri di cermin. Penampilanku sudah lebih baik kan?

Bagus untukku, tidak untuk ibu. Dia memarahiku saat mengetahui aku mengenakan crop tee sebagai atasan. "Kamu mau pesta apa? Masa buka puasa mau pamer udel"

Lah,lah. Terus aku kudu gimana? Ibu melempar sebuah kemeja berwarna salem. Maksudnya? Aku pakai ini? NO! BIG NO.

"Ehm" aku dikejutkan oleh dehaman di belakangku. Otomatis aku menoleh cepat.

eh? EH?! Itu Niagara? Ada Niagara? Terus kenapa panik? Lah tadi aku kan buka-buka rok. Dia lihat? Lihat nggak?

"Ka-mu, lihat?" tanyaku dengan suara amat lirih. Niagara diam saja. Wajahku mendadak panas melihat wajahnya yang merah. Artinya, dia lihat tingkahku tadi kan? Memang konyol dan tolol aku ini.

Gak, aku nggak tolol. Dia yang tolol, harusnya dia tutup mata kan? Kenapa juga harus ada di dapur. Aku curiga kalau dia sengaja. Aku berteriak kesal.

"DASAR MESUM!!!"

***

Ruang keluarga yang biasanya riuh oleh suaraku dan Genta, malam ini digantikan oleh suara Om Beth- papanya Niagara, dan ibu serta ayah. Genta sudah kabur, katanya dia sedang mendapat giliran untuk adzan di mushola yang berjarak tidak jauh dari rumah. Memang sudah kebiasaan,sih, setiap ramadhan pasti ada jadwal untuk adzan isya'-sekaligus sholat teraweh, untuk para anak muda di kompleks rumah. Tapi aku tidak percaya Genta akan menuruti jadwal itu.

Aku dan Niagara seperti sedang di sidang. Hakimnya tiga orang tua yang tidak henti menyinggung-nyinggung kejadian tadi. Saat aku meneriaki Niagara.

"Wah-wah, gimana Niagara? Papa nggak pernah ngajari kamu jadi cemen,loh" aku tahu kemana jluntrungannya perkataan Om Beth.

"Yaa, kami sebagai orang tua ya gimana, ikut anak aja" ini lagi, ayah ikut-ikutan.

Aku dan Niagara sudah tidak bisa bicara lagi, tadi kami sudah berusaha menjelaskan. Tapi semakin berusaha, semakin menunjukkan bahwa kami layaknya pasangan SMA yang ke-gep anu-anu. Salahku juga,sih teriak-teriak.

"Ini nggak teraweh?" ucap Niagara berusaha menggeliat dari situasi memuakkan ini. Baru saja terdengar suara adzan, tapi ini bukan suara Genta. Tuh kan?

"Emang kamu mau teraweh Ni? Sanggup mandi malem-malem?" NAH! Apa lagi, sih? Ayah dan ibu tertawa. Om Beth mulutnya cabe banget. Tapi aku kenapa? Yang diceng-in Niagara tapi aku yang merasa panas.

Ini loh alasan mengapa akhirnya aku diam, bicara sedikit pasti di-ceng-in habis-habisan. Mana receh banget banyolan para orang tua ini. Niagara tampaknya tidak mau belajar dari pengalaman-ngakunya,sih otak dokter loo. Rasain lu!

"Udah-udah Mas Beth, jadi gimana,nih?" ujar ayah setelah meredakan tawa. Jadi apanya, Yah?

"Ya gimana, aku kan udah kasih saran ke Niagara-sebagai cowoklah. Entah gimana si Ari dan kalian" aku dapat melihat mata Niagara menolak.

"Kita ya tergantung Ari" kata ibu sambil memandang ke arahku. Pandangannya seolah berkata 'bilang iya, ayo!'

Lalu ayah segera berperan sebagai hakim yang bersiap mengambil keputusan final. "Kita orang tua sudah setuju, gimana kalian berdua? Mau kapan tanggalnya? Mau sesegera mungkin?"

"NGGAK!" aku menoleh ke Niagara yang juga menghadapku saat menyadari kami berucap bersamaan.

"Cie~ cie~ , jodoh,tuh" pastilah ini si Om Beth yang berbicara.

***

Maaf kalo update cerita ini spam banget menurut kalian.

Karena saya enjoy nulis ini, juga cuma main-main, nggak memberatkan pikiran saya.

Selamat membaca!

(Gak yakin ada yang baca)

HOW I LOVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang