Love-Hate

17 1 0
                                        

Dua tangan yang berbeda kini terulur padanya. Vella hanya bisa menatap kedua tangan itu dengan bimbang.

"Rey! Tolongin aku donk!" rengek Gisella. Dia langsung menarik tangan Rey yang sebenarnya terulur untuk Vella.

Untun pertama kalinya Vella berterima kasih karena telah sekelompok dengan Gisella. Ia amat sangat sungguh bersyukur! Karena kalau saja gadis -yang paling tidak disukainya- itu tidak merampas tangan Reynaldo, Vella tidak akan tahu harus berbuat apa. Tangan siapa yang akan dia raih kalau seperti itu kejadiannya?

Akhirnya Vella meraih satu telapak tangan yang masih setia terulur padanya. Tangan Raka begitu besar. Jauh lebih besar dari tangannya. Berada dalam genggaman Raka membuatnya merasa nyaman. Ia merasa bahwa lelaki yang berada di depannya itu tak akan melepaskan genggamannya. Ia merasa aman. Apakah Vella terlalu egois jika dia meminta agar semuanya tetap seperti ini?

Butuh waktu beberapa menit sampai akhirnya keempat orang itu bisa sampai di atas tebing. Coba saja kalau tidak ada Vella dan Gisella, tentu kedua lelaki itu akan dengan mudah sampai di sana.

"Thanks, Raka," ucap Vella tepat saat mereka sampai di atas.

"Iya," jawab Raka singkat.

Sedetik kemudian, Raka melepaskan tangan Vella. Vella menggigit bibirnya. Aih, cepet banget udah dilepas! Tebingnya kurang tinggi nih! Harusnya manjat gunung aja sekalian! gerutunya dalam hati. Untung saja akal sehatnya masih bekerja, kalau tidak, bisa jadi dia kembali meraih tangan Raka. Kalau sampai itu terjadi, dia tidak akan tahu bagaimana masa depannya. Raka pasti akan menjauhinya. 100% yakin!

"Oi, Vel! Cepetan ke sini! Jangan bengong doank di sana. Kita mau masuk nih." Ucapan Reynaldo langsung membuat Vella tersentak. Tanpa aba-aba lebih lanjut, ia mengikuti kelompoknya itu masuk ke dalam rumah kumuh, bobrok, dan menyeramkan itu. Dilihat dari sisi mana pun, rumah itu benar-benar menguji nyali mereka. Di dalam sana terus-menerus terdengar suara-suara aneh, seperti suara se... Se... SE... sekelompok jangkrik.

Krik krik.

Sebenarnya hanya tampilannya sana yang menyeramkan. Dalamnya? Tidak ada apa-apa. Bahkan Vella -yang selalu berteriak histeris setiap melihat sampul DVD film horor- pun sama sekali tidak takut. Toh, hanya sebuah ruangan kotor penuh debu dengan suara jangkrik bernyanyi sebagai musik latarnya. Vella jadi teringat akan sebuah kalimat: Don't judge a book by it's cover.

Wih, bijak banget aku, pujinya pada dirinya sendiri.

Setelah mendapatkan benda yang mereka cari -alias bendera warna merah-, mereka pun keluar dari rumah itu. Keempat orang itu pun kompak menghela napas panjang ketika melihat apa yang harus mereka hadapi sekarang. Menuruni tebing -yang baru beberapa menit lalu- mereka panjat. Kalau tahu seperti ini jadinya, lebih baik dari awal hanya satu orang saja yang memanjat naik dan mengambil benderanya! Penyesalan, oh penyesalan.

Pertama-tama, Raka dan Reynaldo turun lebih dulu. Dengan mudahnya mereka meluncur dari atas tebing itu. Lalu kini giliran Vella dan Gisella yang turun. Luncuran mereka tak seindah dan semulus dua lelaki tadi, tapi setidaknya mereka bisa melakukannya sendiri. Alhasil, kini pakaian mereka penuh dengan bercak tanah. Untung saja Vella tidak memakai baju warna putih.

Rintangan-rintangan selanjutnya bisa mereka lewati dengan mudah karena tidak ada lagi acara panjat-memanjat. Mereka dengan cepat mencapai finish. Dari safari malam itu, Vella menyadari satu hal. Gisella bukanlah gadis yang manja. Sejak pertama kali berurusan dengan gadis itu, ia pikir Gisella adalah gadis yang manja dan menyebalkan. Ternyata anggapannya tidak benar. Gisella sama sekali tidak manja. Ia mungkin sesekali merengek ini itu, tapi itu hanya caranya untuk mendapatkan perhatian Reynaldo. Ia cukup mandiri melakukan segalanya, bahkan terkesan tomboy.

"Liat kan gimana Reynaldo perhatiin aku dari tadi? Ha!" Gisella -yang entah bagaimana sudah berada di sampingnya padahal sejak tadi menempel dengan Reynaldo- tersenyum puas sambil mengibaskan rambut panjangnya itu ke arah Vella.

Vella memutar kedua bola matanya. Nyesel tadi sempet muji! Nih anak emang ngak manja, cuma nyebelin aja!

***

Hari kedua, ketiga, keempat berlalu begitu cepat. Kini sudah hari kelima, tidak ada acara apa pun di hari terakhir ini. Semua murid telah dibebaskan untuk melakukan apa saja. Vella -yang sampai sekarang belum punya teman- memutuskan untuk berjalan-jalan di pinggir sungai. Tidak ada orang disana. Hanya ia sendiri. Berjalan menelusuri sungai yang entah berakhir di mana. Airnya yang jernih membuat Vella bisa melihat dasar sungai tersebut.

Kayaknya dangkal nih. Tanpa berpikir lagi, Vella duduk di sebuah batu besar di pinggir sungai dan menenggelamkan kedua kakinya ke sungai. Rasa dingin langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Tapi dia menyukai sensasi itu.

Setelah safari malam, Vella tidak lagi berbicara dengan Reynaldo atau Raka. Kedua manusia itu terus saja menempel kemana pun mereka pergi. Bak pasangan pengantin yang baru menikah. Vella yang berada di kejauhan pun hanya bisa menatap keduanya. Tepatnya sih menatap Raka.

Ternyata emang cuma imajinasi. Mana mungkin di kebun teh, Raka berlutut, terus nyatain perasaannya ke aku. Mimpi Vel, mimpi! Vella berdecak kesal. Kesal pada kenyataan yang pahit.

"Vella? Ngapain di sini sendirian?"

Suara itu langsung membuat Vella menoleh.

---
Ziwa's note:
Setelah lama hiatus, akhirnya aku balik lagi~ \[^o^]/ Maaf ya nunggu kelamaan (kalo ada yg nunggu .)

Kuusahain supaya bisa update terus dan bisa selesai sebelum akhir tahun. #aminn .

Seperti biasa, VOTE dan COMMENT ditunggu yaa^^

Love,
Ziwa

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TrilationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang