It's War

79 4 2
                                        

"Hai, ga nyangka ya kita bakal sekelompok," ujar Gisella sambil mengibaskan rambut panjangnya.

Vella hanya bisa menghela napas panjang. "Aku juga ga nyangka."

Sungguh, betapa tidak beruntungnya Vella yang terpaksa masuk ke kelompok Gisella dan teman-temannya itu. Bagaimana dia bisa menikmati retret ini kalau dia harus tinggal di bawah satu atap dengan gadis yang sedang menatap sinis dirinya itu?

"Kamu yang ambil ya kuncinya. Kita mau jajan dulu, oke?" Gisella pun pergi tanpa menunggu jawaban Vella. Begitu pun teman-temannya itu.

Vella menarik koper hitamnya dan berjalan ke arah wali kelasnya yang sedang membagikan kunci kamar. Setelah mendapat kunci dengan angka '6', dia pun berjalan menuju penginapan dan mencari kamar nomor 6. Setelah berputar-putar mengelilingi bangunan kayu itu, dia akhirnya menemukan kamarnya.

Terdengar bunyi 'klik' saat dia memutar kunci. Dia melangkah masuk dan mendapati sebuah kamar yang cukup luas. Ada 4 kasur yang terbaring bersebelahan di atas lantai, sebuah meja rias, sebuah lemari, dan kamar mandi yang dilengkapi shower. Cukup memuaskan.

Setelah membereskan barang-barangnya, dia baru saja berniat untuk pergi jalan-jalan saat teringat Gisella dan gengnya. "Kalo aku pergi, mereka ga bisa masuk kamar donk? Kan kunci kubawa," gumamnya.

Setelah beberapa detik, akhirnya dia memutuskan untuk duduk di atas kasur dan menunggu kedatangan 'teman' sekamarnya.

Satu jam, dua jam, tiga jam berlalu. Vella merasa seperti orang bodoh yang hanya duduk diam di dalam kamar, padahal orang lain bisa berkeliling-keliling menikmati udara segar Puncak. Dia menghela napas panjang dan memutuskan untuk pergi. Biarin aja lah mereka ga bisa masuk. Salah sendiri ngak balik-balik.

Vella memakai sepatu putihnya dan berjalan keluar. Tepat saat itulah, matanya bertemu dengan mata Raka yang sedang memakai sepatunya di ujung lorong.

"Oh?" ucap keduanya serempak.

"Mau... jalan bareng?" tanya Raka perlahan dari ujung lorong.

Walau suaranya halus, Vella masih bisa mendengarnya. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar ajakan itu. "Boleh...."

Keduanya pun memutuskan untuk berjalan-jalan di kebun teh yang entah berapa meter persegi luasnya. Keduanya berjalan berdampingan dalam diam. Vella diam karena dia gugup, sedangkan Raka tidak tahu mau bicara apa. Keduanya hanya terus melangkah di antara semak-semak itu.

"Vel, ga mau nyanyi?" tanya Raka tiba-tiba. Pertanyaan yang sungguh di luar dugaan Vella.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu?"

"Gapapa, aku cuma pengen denger nyanyianmu lagi."

"Hah?"

"Aku suka suaramu. Sejak dulu."

Wajah Vella langsung berubah merah padam. Kedua pipinya terasa panas. Dia benar-benar berharap lelaki di sampingnya itu tidak mendengar degup jantungnya yang menggila karena ucapannya itu.

Tapi tunggu. 'Sejak dulu'? "Raka, maksud kamu a-"

"Vella!"

Ucapannya terpotong oleh Reynaldo yang memanggilnya. Entah bagaimana lelaki itu bisa ada di depannya. Reynaldo melangkah mendekatinya.

"Boleh pinjem Vella ngak, Ka?" tanya Reynaldo pada sahabatnya.

Raka terdiam sebentar sebelum kemudian mengangguk. "Ya udah. Aku pergi dulu," jawabnya singkat. Lelaki itu pun kemudian melangkah pergi. Meninggalkan Vella yang masih mematung di tempatnya.

TrilationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang