Bab 14

10.4K 1.1K 39
                                    

"Kenapa kau datang lagi?"

Athar tak peduli nada tak suka yang Pak Hendro tujukan padanya. Ia duduk dihadapan Pak Hendro sambil menyerahkan satu cup kopi hangat untuk bosnya itu.

"Hanya kopi? Mana rantang ajaibmu?" Tanya Pak Hendro sambil mengerutkan dahinya. Ia menerima cup kopi tersebut dengan santai. Meminumnya bahkan mengecap rasanya bak ahli kopi yang sedang dalam riset mengkaji kopi.

Athar menyeruput kopinya sambil menyandarkan tubuhnya dengan santai. Angin sejuk yang menerobos ventilasi udara membuat suasana kian menenangkan. Tak bisa Athar bayangkan bahwa ia mendapatkan kenyamanan di area yang dikelilingi jeruji besi.

"Ada apa? Ada masalah di kantor?" Pak Hendro sepertinya mulai menyadari ada yang berbeda dari sikap Athar.

Athar tersenyum miris. Ia mengeluarkan dompet lalu melempar sebuah kartu pada atasannya itu.

"Anda senang sekarang?"

Pak Hendro membaca tulisan dikartu tersebut. Tak lama ia menatap Athar yang masih nampak kusut seperti ketika ia melihat pria itu datang.

"Manager Keuangan, kelihatannya sangat cocok untukmu, Thar." Ujar Pak Hendro mencoba menyunggingkan senyum. Tapi Athar tak tertarik melihat senyum itu. Ia tak menginginkan apapun kecuali bosnya kembali pada posisinya dan Athar kembali bekerja seperti dulu. Bukan menjadi Manager Keuangan yang sibuk rapat sana-sini bahkan ketika suasana hatinya sedang buruk.

"Anda masih ingin terus bersikap seperti ini?" Tanya Athar dengan nada yang kian dalam. Ada keheningan sesaat seolah Pak Hendro dapat merasakan kegelisahan yang Athar rasakan hanya dengan sebuah pertanyaan.

"Posisi itu sangat cocok untukmu, terima saja kalau mereka sudah menggantikan saya dengan yang lebih muda." Sahut Pak Hendro yang masih saja berniat membuat lelucon . Athar menatap Pak Hendro tajam.

"Saya tidak menginginkan posisi apapun, saya mau anda keluar dari tempat brengsek ini dan memperjuangkan hak anda, hak anda untuk bebas, hak anda untuk membela diri, sikap anda yang seperti ini seperti bukan anda, berapa mereka membayar anda sampai anda bisa dengan santai melepas mereka pergi? Berapa?"

Usai menyelesaikan pidatonya, Athar sadar bahwa ekspresi Pak Hendro kini telah berbeda. Pria itu kini terlihat serius dan bersiap meledak. Tapi sebelum Pak Hendro memuntahkan amarahnya. Athar bergegas bangkit.

"Ini nomor saya, kalau anda berubah pikiran saya siap kapan pun membela anda," Athar melemparkan kartu namanya dan secarik kertas pada Hendro lalu meninggalkan pria itu begitu saja. Ia tahu ia berdosa karena memuntahkan kekesalannya pada Pak Hendro. Tapi mantan atasannya itu pantas untuk menerimanya. Ia marah pada semua orang, marah pada mereka yang tak bisa menghargai haknya. Marah pada dirinya sendiri yang bahkan tak bisa melupakan sosok wanita itu sedetik pun.

****

Memandang ke luar jendela ia hanya mendapati para sepupu dan keponakannya yang nampak asik bermain. Tawa renyah mereka membuat bibirnya mengulas senyum yang jarang terlihat sejak kepulangannya dari Jakarta. Ingatannya kembali membuatnya mengenang saat-saat ia bersenda gurau dengan para tetangga, membuat kue sambil bergosip bahkan sibuk digoda oleh para bapak-bapak. Entah mengapa ia bisa merindukan kenangan itu.

Hampir satu bulan ia pulang dan menempati kamarnya yang selalu kosong menunggunya. Kamar yang selalu terlihat rapih karena sang Ibu selalu merapikan dan membereskannya. Berjaga-jaga jika putri sulungnya akan pulang tiba-tiba seperti yang terjadi satu minggu ketika Ia mendadak muncul di depan pintu rumah keluarganya. Kini, entah bagaimana Ia mulai merasa asing dikamarnya sendiri. Ia merindukan kamar kecil yang pria itu berikan untuknya. Ia rindu dapurnya, rindu mesin kopi canggih milik pria itu. Ia bahkan tak bisa mengelak jika begitu merindukan pria itu.

Cold Mission √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang