Bab 16

9.9K 1.1K 31
                                    

Sepuluh tahun lalu ia menuruni tangga itu dengan tergesa-gesa. Ia juga sempat menoleh sejenak ke arah dua foto besar yang terpajang di bagian depan rumah. Wajah Ayah dan Ibunya yang memandang seolah tersenyum hanya untuknya. Ia mengingat ketika tangannya meraba kedua foto tersebut dengan hati hancur. Ditinggal oleh keduanya untuk selamanya sungguh tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Begitu sesak rasanya hingga ia tak pernah bisa menangis. Ia hanya bisa berteriak. Meneriakkan amarahnya mengapa Tuhan begitu tak adil padanya.

Rasa sesak itu masih terasa walau kini Athar sudah bisa menarik bibirnya membentuk senyuman. Itu semua semata-mata karena ia begitu merindukan dua sosok itu. Athar menyentuh lukisan Ibundanya yang menurutnya sangat indah. Wajah cantik Ibunya terbingkai abadi dengan senyum khasnya. Senyum yang selalu membuat Athar merasakan kedamaian. Lalu matanya beralih pada wajah sang Ayah yang begitu tampan seolah Tuhan menciptakan Ayahnya dengan kesungguhan. Wajah tampan itu menurun pada Athar. Sejak kecil Athar adalah duplikat Ayahnya dan setelah dewasa ia pun menyetujuinya. Darah tak pernah salah mengalir. Darah itu begitu kental ditubuh Athar yang mewarisi wajah dan tubuhnya yang proposional. Seperti yang Ayahnya miliki.

Bibir Athar mengulas senyum kian lebar kala melihat sebuah foto besar berisi seluruh keluarga inti Yudhistira. Almarhum Ayah, Ibu, dan Neneknya ada di sana. Ketiga orang yang begitu Athar cintai. Mereka semua pergi satu per satu meninggalkannya. Namun senyum mereka di foto itu entah bagaimana dapat membuatnya tersenyum sekarang. Karena merekalah Athar dapat berdiri dengan berani sekarang. Merekalah yang memberinya kekuatan penuh untuk mewujudkan seluruh mimpinya. Merekalah yang mendidiknya dengan penuh cinta dan kasih sedari kecil.

Athar merasakan keharuan yang tak terhingga. Selama ini ia tak memiliki satu foto pun karena saat meninggalkan istana miliki keluarganya yang Athar inginkan hanyalah terus maju. Ia tak ingin menoleh lagi ke belakang. Namun kini berbeda. Ya.. entah bagaimana ia merasa berbeda sekarang. Athar mengalihkan pandangannya ke arah Pak Asdar yang sedari tadi hanya jadi penonton saat Athar menyalurkan kerinduannya.

"Tuan muda.."

Athar tersenyum lalu merangkul Pak Asdar yang wajahnya sudah mulai berubah. Rambutnya sudah dihiasi dengan warna putih dibeberapa tempat. Namun tubuh tegap dan kecekatannya tak hilang sedikit pun walau sepuluh tahun telah berlalu.

"Ternyata aku merindukan mereka, Pak." ujar Athar sambil mengigit bibir bagian bawah. Matanya terasa panas dan berkabut. Ia tak ingin terlihat hancur lagi. Ia harus berani karena bukan hanya Ayah, Ibu dan Neneknya yang akan melihat perubahannya. Pak Tua yang telah seenaknya mengobrak-abrik hidupnya harus melihat betapa ia telah tumbuh dengan sangat baik.

"Mereka pasti merindukan anda juga tuan muda, seperti saya yang juga merindukan tuan muda kembali." Ucapan Pak Asdar membuat Athar tersenyum.

"Terima kasih, saya hanya kembali sebentar saja Pak, rumah ini bukanlah rumah saya."

"Siapa bilang rumah ini bukan rumahmu?"

Athar dan Pak Asdar menoleh ke sumber suara. Athar tak terkejut ketika melihat pria tua itu muncul dengan seorang asistennya yang membantunya berjalan. Pak Asdar pun mohon diri agar bisa memberi ruang pada kakek dan cucunya yang ingin melepas rindu. Athar tersenyum sinis tak ingin membayangkan dirinya bernostalgia dengan Pak Tua itu. Menceritakan apa? Betapa sulit kehidupannya bahkan sampai harus merasakan tak makan beberapa hari. Apa pria tua itu tahu? Pria tua itu bahkan tak mau repot-repot tahu. Ia justru seolah tengah menikmati kebebasannya. Jauh dari cucunya yang hidup dengan traumanya. Cucu yang hanya bisa merepotkan saja.

"Bukankah rumah ini rumah anda? Karena saya tidak pernah merasa membeli rumah ini. " Sahut Athar dengan nada dingin yang tak ditutupi. Pria tua itu terlihat melotot tak suka. Athar justru membalas tatapan tak suka pria tua itu dengan berani. Toh bukan dia yang repot-repot mendatangi rumah ini. Ia hanya dipaksa bertemu pria tua itu karena tak ada yang pernah mengajari pria tua itu bagaimana membuat seorang cucu kembali ke rumahnya dengan baik-baik.

Cold Mission √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang