Setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam dari kota London menggunakan Eurostar menuju Belgia lalu dilanjutkan menggunakan Thalys menuju Belanda, kini Gantara akhirnya berhasil menjejakkan kaki di kota Amsterdam. Ia menghembuskan nafas lega, meskipun melewati pemandangan yang menakjubkan di sepanjang jalan, namun tidak dapat dipungkiri terkurung di dalam ruangan layaknya kapsul selama berjam-jam membuatnya ingin kembali menghirup udara bebas. Sayangnya hal ini tak berlangsung lama. Ia harus segera menaiki kereta menuju kota Groningen – kota tujuan akhirnya.
Mengucapkan kota tujuan, ia ingin menertawakan dirinya sendiri. Sejak kapan ia punya tujuan? Tujuannya mungkin hanya sekedar tujuan yang tertulis di tiket-tiket perjalanannya kali ini. Sungguh mengenaskan.
Tujuan. Semenjak orang-orang yang ia sayangi satu persatu pergi dari kehidupannya. Garis tujuan laki-laki keturunan bumi Yogyakarta ini perlahan-lahan ikut menghilang. Garis yang tadinya jelas mulai terlihat samar karena tak ada yang menuntun agar dirinya tetap berada di garis yang ia inginkan. Pedomannya menemukan arah tujuan tak mampu ia temukan lagi. Ia seperti tersesat di malam gelap tanpa cahaya. Alih-alih menghilang di kegelapan, dia masih cukup waras untuk mencoba mencari cahaya yang nanti mampu menuntunnya. Seperti sekarang. Sayangnya proses ini tak akan semudah yang terencana di permukaan.
Teman-temannya di London banyak mempertanyakan kenapa dia harus sulit-sulit naik kereta dan menghabiskan waktu ketika ia bisa dengan mudahnya naik pesawat dengan perjalanan paling lama 1,5 jam. Memang harganya bisa jauh lebih mahal tapi sebanding dengan kenyamanan yang diberikan. Gantara hanya tersenyum kala itu, melontarkan alasan klasik ingin menikmati perjalanan. Menyembunyikan alasan sebenarnya mengapa ia ingin berlama-lama berada di perjalanan. Berfikir dan menyendiri. Mencoba mengubur semua kenyataan tanpa berani menghadapi kesedihannya sendiri. Ia sedang menjadi pengecut yang bersembunyi dibalik dirinya sendiri.
Sebelum kembali melanjutkan perjalanan, Gantara membeli kopi panas dari sebuah mesin minuman untuk sekedar menghangatkan tubuhnya. Angin musim dingin di Amsterdam menurutnya lebih menyiksa dari dinginnya musim salju di London. Awalnya Gantara ingin sekaligus mampir melihat keindahan Amsterdam di malam hari, siapa juga yang tidak tergiur dengan festival musim dingin menjelang natal di ibukota Belanda ini. Pohon natal raksasa, light festival, winter's market, dan outdoor ice skating. Namun rencana hanya tinggal rencana, ia memilih untuk berkeliling kota Amsterdam lain kali saja. Tubuhnya belum siap untuk diajak berpetualang hari ini juga. Ia masih ingin berlama-lama bergelut dengan kepenatan di kepala dan kekosongan di hatinya. Lagipula ia masih punya waktu yang tak terbatas disini. Yang ia inginkan sekarang ialah sampai di flat milik temannya – Naren – secepatnya dan merebahkan tubuhnya yang lelah setelah perjalanan berjam-jam yang tak kunjung usai.
Gantara sengaja tidak langsung menuju kursi penumpangnya, kali ini ia memilih untuk menuju quiet zone. Di kereta intercity ; semacam kereta double-decker menuju groningen ini, memang terdapat quiet zone juga meet up zone. Dari namanya sudah dapat ditebak kalau quiet zone adalah area dimana orang tidak ingin diganggu dengan kebisingan apapun bahkan sekedar obrolan singkat. Cocok sekali untuk dirinya yang memang sedang ingin sendiri. Selain itu dirinya punya alasan sederhana memilih untuk berada disini, Gantara hanya ingin menghabiskan segelas kopi yang berada di tangannya tanpa gangguan. Lagipula ia lelah harus terus saja duduk sejak tadi. Disini ia bisa sedikit merebahkan tubuhnya dengan tenang.Menyendiri seperti ini membuatnya kembali mempertanyakan alasan dirinya kabur sejauh ini dari London. Padahal ia belum genap sebulan menginjakkan kaki kembali di London setelah pemakaman ayahnya beberapa minggu lalu. Apakah hanya karena rasa kehilangan sang ayah? Ataukah ada alasan lain? Ia sangat tahu jawabannya alasannya untuk apa tapi ia sudah berjanji untuk mencoba melepaskan dengan ikhlas, baik ayahnya ataupun wanita itu. Ia hanya butuh sebuah distraksi di otaknya untuk membuat upaya melepaskannya jadi lebih mudah. Ia perlu alasan yang lebih kuat agar ia mampu menemukan garis tujuannya lagi yang sudah menghilang.
Tidak terasa sudah 20 menit berlalu, rasanya sudah saatnya kembali ke tempat duduknya, jangan sampai saat ia kembali kursinya malah sudah bertuan. Gantara berjalan menuju nomor kursi yang tertulis di tiket pesanannya. Ia berharap akan menemukan orang yang tidak banyak bertanya di kursi sebelahnya. Ia sedang tidak ingin beramah-tamah dengan orang asing. Karena itulah ia cukup senang mengetahui bahwa wanita yang duduk di sebelahnya sudah tertidur pulas. Gantara tak dapat melihat wajahnya dengan jelas karena sebagian wajahnya tertutup oleh scarf biru tua. Gantara sedikit meneliti wajah itu, potongan wajah Asia. Rambutnya pun terlihat hitam legam. Mungkin orang Indonesia, sama seperti dirinya. Entahlah, ia tak ingin banyak berfikir lagi menambah beban di otaknya. Nikmati saja perjalanan ini. Mungkin kalau wanita itu tidak tertidur, ia akan memarahi Gantara yang dengan jelas-jelas menatapinya dari ujung rambut sampai ujung kaki begitu. Mana ada wanita yang suka dipandangi begitu. Yang ada dirinya dituduh melakukan pelecehan karena menatapi seseorang terlalu intens.
Gantara mencoba memejamkan matanya, namun tidak bisa. Kemudian ada aroma vanilla yang samar-samar tercium oleh indra penciumannya – membuatnya lapar dan membayangkan sepotong bolu kukus yang sering dikirimkan oleh ibundanya semasa ia masih kuliah di Jakarta. Ia memandangi sekitarnya berharap ada petugas kereta yang memang sedang menjajakan makanan di troli-troli berkeliling gerbong namun hasilnya nihil. Seandainya ini adalah gerbong kereta ekonomi dari Jakarta tujuan Yogya, ia pasti sudah bergegas mencari pedagang pecel sayur dan mendoan untuk memenuhi hasrat si perut. Diam-diam merindukan kota yang baru ia datangi seminggu yang lalu. Bukan untuk melepaskan kerinduan namun untuk melepaskan sang ayah untuk selama-lamanya.
Mencoba untuk tidak memikirkan kesedihannya lagi, ia memandangi kembali wanita disampingnya, "mungkin dari parfum cewek ini, bikin laper banget." Pikir Gantara. Bulu matanya lentik dan wajahnya terlihat begitu tenang saat tidur begini. Kedamaian berkumpul menyelimutinya. Anehnya semakin ia pandangi, rasanya ia semakin mengenal wajah wanita ini. Wajahnya terasa sangat familiar.
"Mikir apa sih Ta? aneh-aneh lo." Ia menggumam pelan pada dirinya sendiri dan pergi meninggalkan pikiran anehnya.
Ia memasang headphone-nya dan menyalakan lagu yang ada di iPod Shuffle miliknya. Berusaha menghalau segala pikirannya, berharap ia bisa melelapkan diri sejenak. Ia pejamkan matanya sambil mendengarkan lagu lawas favoritnya milik Michael Learns To Rock. MLTR, Take That, Aerosmith, nama-nama yang diterima oleh telinganya memang kebanyakan nama-nama lama. Biarlah seleranya memang jadul, meskipun tidak ia pungkiri jika suara Isyana Sarasvati dan Raisa juga tak luput dari playlist musik wajib dengarnya. Gantara masih cowok normal yang suka disuguhi cewek cantik juga pintar. Terlepas dari wajah cantik yang enak dipandangi lama-lama, kualitas suara mereka memang tidak main-main kok.
Gantara tetap tak tertidur namun ia terus memejamkan matanya sampai rasanya ada sebuah suara tak asing di telinganya menyebut nama yang begitu ia kenal.
"Tega ya gue ditinggalin liburan. Karen sampai Jakarta kapan Sya? Oh gitu, iya ini lagi di kereta, gue abis one day trip ke Amsterdam. Iseng aja mumpung libur." Gantara masih begitu terpaku menatap wajah yang akhirnya tersingkap itu," Oke, kirim salam super kangen buat Karen sama Fika ya. Love you. Bye Marisya."
Dirinya tak salah, ia mengenal wanita ini. Sangat mengenalnya.
-:-:-:
Keterangan :
Eurostar dan Thalys itu adalah nama layanan kereta api antar negara di eropa. Mereka punya jalur masing-masing. Contohnya kalau Eurostar melayani perjalanan London ke Brussels, sedangkan Thalys melayani rute Brussels - Amsterdam.
Happy reading :*
dii
KAMU SEDANG MEMBACA
Travelmate
Short Story"It doesn't matter where you're going, it's about who you have beside you." Shira Baskoro tak pernah menyangka akan bertemu dengan seorang Gantara Akbar -- mantan pacar sahabatnya -- di tengah perjalanan pulang dari Amsterdam menuju Groningen. Ia ha...