Travelmate - 5

6K 718 11
                                    

Pagi ini mereka memilih untuk sarapan di sebuah restoran bernama TOET dengan andalan menu pie-nya. Restoran ini biasa buka pada pukul 10 pagi, namun biasanya antriannya sudah panjang di pagi hari. Suasananya yang nyaman dan homey membuat banyak pengunjung ingin kembali dan kembali lagi kesini, tentu saja selain rasa nyaman memang pie disini rasanya tak terkalahkan. Kalau mau kesini Shira biasanya sengaja bangun pagi agar bisa mendapat antrian awal.

"Gila, emang enak banget gitu Shi? Sampe pada bela-belain antri?" Gantara suka tak habis pikir jika ada orang yang rela mengantri untuk sepotong pie, ia bukan orang seperti itu.

"Cobain dulu deh, jangan cerewet. Pokoknya lo gak boleh minta pie gue, awas kalau sampai sentuh-sentuh makanan gue!" Shira mengacungkan garpunya di hadapan Gantara. Suasana yang sempat canggung akibat insiden tabrakan tadipun seolah dengan mudahnya mencair hanya karena sebuah pie.

"Sumpah galak banget, baru tau gue Shira Baskoro galak, pelit, terus tukang makan begini."

"Hahaha ...ngeselin deh Ta! Awas ya gue tinggalin di jalan nanti." Tak berapa lama pesanan mereka datang, Shira dengan pie dan tehnya sedangkan Gantara dengan kopinya. Benar saja, melihat Shira melahap pie-nya dengan begitu nikmat membuat Gantara ingin mencicipinya karena menu yang mereka pesan memang berbeda.

"Shi, sepedanya shi!" Ujar Gantara sambil menunjuk ke arah parkiran sepedan Shira. Shira kontan menengok ke arah yang ditunjuk Gantara dan dengan sekejap mata Gantara sudah mendapatkan satu suapan penuh dari pie milik Shira. Gantara tertawa puas melihat Shira terkecoh dengan begitu mudahnya.

"Gantara ih sumpah ngeselin! Ketawa aja sampai puas!" Shira mengeluarkan ekspresi merajuknya, bibirnya sedikit dilengkungkan dan lengannya dikepalkan di dada.

"Iya ... iya maaf. Ini beneran enak banget Shi dan cara makan lo bikin gue tergiur. Udah gak usah manyun gitu, nanti gue beliin satu lagi buat take away."

Shira pikir tadinya akan canggung pergi hanya berdua bersama Gantara. Terlebih dirinya terbawa perasaan tiba-tiba hanya karena Gantara memintanya untuk berpegangan padanya saat bersepeda tadi. Selain itu Gantara sendiri kan mantan kekasih sahabatnya, ada yang aneh muncul di pemikirannya. Namun kenyataannya sekarang, Gantara tak pernah membiarkan Shira sedikitpun memberi jarak diantara mereka. Gantara yang ada di hadapannya saat ini mungkin memang pribadi sesungguhnya dari laki-laki ini yang tak pernah Shira tahu karena selama ini ia hanya mengenal Gantara sejauh itu saja. Sejauh hubungan sahabat dengan pacar sahabatnya.

Setelah puas dengan perdebatan pie mereka, Shira mengajak Gantara ke Groninger Museum. Ada yang bilang Belanda memang kotanya museum, banyak sekali museum-museum bertebaran disini. Beruntungnya Shira, dengan memiliki kartu mahasiswa disini ia bisa masuk dengan harga yang miring. Itu salah satu alasan kenapa ia sangat menyukai bisa berkuliah di Belanda. Groninger Museum berisi kumpulan karya seni modern dan kontemporer dari para seniman De Ploeg, letaknya yang berada tepat di sisi kanal membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.

Gantara bukan penggemar seni namun museum ini tentunya jadi tempat wajib dikunjungi di Groningen. Bukan hanya karena isinya namun juga letak dan bentuk bangunannya yang tidak biasa. Lagi-lagi karena ini seni, ada saja yang diluar nalar yang tidak dimengerti oleh Gantara. Dan ocehan-ocehan Gantara mengenai karya seni di dalamnya, tak pernah luput menghadirkan tawa di wajah Shira. "Aliran impresionis tuh emang abstrak ya, coba lihat Shi cuma gambar laki-laki dengan bibirnya yang eksotis itu aja bisa terkenal. Gue emang gak bakat mikir kalau soal art, otaknya cuma angka sama duit." Bagaimana tidak tertawa kalau karya Johan Dijkstra dibilang sama Gantara bibirnya eksotis. Gantara mulai lebih serius ketika menuju ke area sejarah arsitektur museum, entah apa yanga da di pikirannya.

"Ayah pasti seneng banget kalau bisa kesini, dia pasti bakal betah seharian cuma demi melototin arsitektur gedung ini."

"Ajaklah liburan kesini, gue akan dengan senang hati jadi tour guide lagi kalau lo kesini bareng orang tua lo."

Gantara kemudian tersenyum getir, bukan salah Shira. Ia memang tidak tahu kalau ayahanda Gantara baru saja meninggal dunia. "Ayah udah di surga Shi. Dia meninggal beberapa minggu yang lalu."

Shira menutup mulutnya terkejut, ada perasaan bersalah yang menghujam jantungnya," Maaf Ta, gue gak tau." Shira meremas lengan Gantara, memberikan tanda kalau Shira turut berduka untuknya dan ingin agar ia tak kembali tergelincir dalam kesedihannya. Shira benar-benar baru tahu, mungkin ini kekosongan yang Shira rasakan ada di dalam diri Gantara. Mungkin ini juga yang membuatnya terlihat lebih serius tadi. Dan mungkin karena ia baru saja kehilangan orang-orang yang dicintainya. Kehilangan dalam arti harfiah dan tersirat secara bersamaan. Shira merasa bersalah sekali.

"Gue gak apa-apa, tenang aja. Gak usah merasa bersalah begitu." Gantara menawarkan seulas senyum kemudian menarik pergelangan tangan Shira – mengarahkannya kembali menelusuri lorong museum ini. Shira terkesiap saat Gantara menggenggam tangannya, namun tak bisa menolak untuk mengikutinya.

Setelah ke Groniger Museum dan menghabiskan waktu cukup lama disana, mereka beranjak ke pusat kota Groningen. Disana ada Martinitoren, Prinsenhof Garden, Grote Markt, dan masih banyak yang lainnya. Tak lupa mereka menyempatkan diri untuk menunaikan solat di mesjid bergaya arsitektur turki tak jauh dari sana. Sebelum menuju Martinitoren, Gantara dan Shira makan siang di sebuah restoran tak jauh dari sana. Cuaca dingin membuat mereka jadi cepat lapar, di tengah perjalanan tadi saja sempat-sempatnya mereka berhenti untuk membeli jajanan pinggir jalan demi menghalau rasa lapar sampai mereka tiba di Grote Markt.

Perut kenyang tentu saja membuat tenaga terisi penuh kembali, dan harus naik ke menara gereja Martinitoren menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Awalnya Shira menolak ikut karena ia sudah pernah melakukannya dan itu sangat melelahkan namun Gantara tentu saja tak membiarkannya begitu saja. Usaha mencapai puncak yang begitu melelahkan akhirnya sebanding dengan apa yang didapatkan. Dari menara ini, Gantara bisa menyaksikan pemandangan yang luar biasa. Pemandangan yang tidak tergantikan. Diabadikan lewat sebuah fotopun percuma, karena baginya kenangan paling indah adalah yang terekam lewat lensa matanya sendiri. Tidak ada duanya.

"Jadi memang butuh usaha yang besar untuk mendapatkan hasil yang indah ya Ta. Kayak sekarang ini."

"Hasil itu gak akan mengkhianati sebuah usaha Shi. Lo hanya perlu sebuah keyakinan agar usaha lo gak berhenti di tengah jalan. Kalau kata Efek Ruma Kaca sih, seperti pelangi yang setia menunggu hujan reda." Yang dimaksud Gantara adalah band indie yang beberapa lagunya sering ia dengarkan dan lagu yang baru saja ia kutip adalah lagu kesukaan Karen. Keduanya saling menatap keindahan ciptaannya dari ketinggian hampir seratus meter, tidak ada kata yang menginterupsi hanya deru nafas yang terdengar dan hembusan angin sore yang mulai bertiup kencang. Mereka seperti dua anak manusia yang sedang mencari arti hidup, merenungkan arti dari kata-kata yang mereka lontarkan, yang mereka tahu benar bisa menjadi panduan arah jalan hidup mereka.

-:-:-:


You know why kenapa saya menulis cerita ini? Karena saya juga punya mimpi suatu saat untuk bisa berada disana seperti Shira dan Gantara.

.dii.

TravelmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang