"Just let me go Ta. I'm happy now." Suaranya masih setenang dahulu – setidaknya begitu menurut Gantara."Terima kasih Karenina, untuk semuanya." Gantara mengakhiri sambungan teleponnya. Ternyata benar yang dikatakan Naren, " Lo udah gak mencintai Karen Ta, lo hanya berpikir kalu lo masih mencintainya. Lo hanya perlu mencari tahu sekali lagi apa benar masih ada cinta disana?" Inilah penyelesaian yang ia butuhkan. Sudah tidak ada cinta disana, tak ada lagi debaran yang selalu ia rasakan ketika mendengar suara wanita ini, tidak ada rindu disana, dan kekesalannya kemarin murni karena rasa irinya mengetahui Karen begitu bahagia. Sekarang sudah waktunya ia mencari kebahagiannya sendiri.
Siang ini ia menyusuri sudut-sudut kota Groningen tanpa Shira yang menemaninya sejak awal ia menginjakkan kaki di Belanda. Rasanya seperti ada yang hilang. Jika bersama Shira kemarin membuat lubang hampa di hatinya seakan tertutup perlahan, ketidakhadiran Shira malah seperti menciptakan lubang lainnya. Kehadiran Shira yang sangat singkat ternyata memiliki efek luar biasa dalam perjalanannya. Senyum dan tawanya bisa semudah itu mengalihkan dirinya dari kekalutannya saat meninggalkan London.
Gantara mengingat-ingat apa yang dikatakan Shira malam itu di Amsterdam. Dirinya tak sepenuhnya tertidur, sama seperti Shira yang nampaknya juga begitu, salahkan jantungnya yang tak mau diajak berkompromi mengingat ia berusaha tidur di hadapan Shira. Jarak wajahnya dengan wajahnya Shira mungkin tidak lebih dari 20 cm. Gantara memang kaget ketika mengetahui Shira mendengarkan semua curahan hatinya, namun ia enggan untuk membuka matanya. Tak ingin merusak suasana tenang yang telah tercipta. Sudah terlalu banyak kecanggungan yang tercipta kala itu. Tak perlu ia tambahkan lagi.
"Shira benar, papa pasti sudah bahagia disana kan pa? Papa pasti mau lihat Gantara bahagia juga kan?" Gantara menggumam seraya menikmati kesendiriannya di tepi kanal tidak jauh dari Stasiun Groningen. "Dan Karen, Gantara sudah melepaskannya Pa. Dia sudah berbahagia." Angin dingin bertiup kencang, dinginnya menusuk hingga ke tulang. Gantara bergidik merasakan hembusan angin membelai wajahnya. Namun hal ini tak mengurungkan niatnya untuk tetap berdiam diri disana.
"Dag, is deze stoel vrij? Apakah kursi ini kosong? " Suara seorang lelaki paruh baya mengejutkan Gantara. Ia menatap kebingungan, namun tetap menanggapinya dengan cukup tenang.
"Sorry, I don't speak Netherland." Gantara melemparkan senyumnya, semoga lelaki tua ini mengerti bahasa Inggris, pintanya dalam hati.
"I'm sorry. Boleh saya duduk disini? Turis?" Syukurlah dia mengerti. Memang kebanyakan orang Belanda juga berbicara dalam bahasa Inggris, jadi memang tidak perlu takut jika bepergian ke Belanda tapi tak mengerti bahasanya.
"Silahkan. Iya, saya sedang mengunjungi teman disini sambil berlibur." Gantara mempersilahkannya sembari sedikit meneliti lelaki di sampingnya ini. Mungkin usianya sudah 60 atau 70 tahunan. Hanya perkiraan Gantara saja, tubuhnya masih terlihat gagah namun garis-garis kerutan di wajah dan tangannya tak mampu disembunyikannya.
"Sendirian di udara dingin begini?" Gantara pikir orang ini akan menghabiskan kopi panas yang masih mengepul di tangannya tanpa menggubris kehadiran Gantara, namun ia salah.
"Menanti salju mungkin, Sir. Menurut ramalam cuaca salju mungkin turun hari ini kan?" Gantara tersenyum mengingat ia melontarkan alasan cukup konyol. "Dan tuan sendiri? Menikmati kopi di dalam kedai yang hangat mungkin akan lebih menyenangkan."
"Ah benar sekali, salju ya. Akan dingin dan menyenangkan." Ia menyesap kopinya sejenak, "menikmati kopi di kedai yang hangat sendirian tidak menyenangkan nak. Panggil saja saya Harold."
"Saya Gantara." Lelaki ini agak sulit ketika mengulang nama Gantara, Gantara memakluminya tidak mudah memang untuk lidah asing menyebutnya, "Kenapa tidak di rumah? bersama anak dan cucu mungkin? Maaf saya hanya menebak mungkin tuan sudah memiliki cucu."
Harold tertawa renyah, "tebakanmu tidak salah. Saya memiliki seorang putri dan dua orang cucu. Mereka mungkin menanti kakeknya ini di rumah dan sang kakek malah asyik menikmati kota ini seorang diri sambil mengenang mendiang sang istri disetiap sudut kota ini. Ngomong-ngomong Marien meninggal tujuh tahun lalu."
"I'm so sorry. Tuan pasti begitu kehilangan dirinya." Gantara menatap sang lelaki dengan pandangan menerawang. Ia bisa merasakan rasa kehilangan disana. Ia tidak tahu kenapa Harold memutuskan bercerita kepada orang asing ini. Yang ia tahu dirinya enggan beranjak, ia menikmati percakapannya dengan orang asing ini.
"Tidak apa-apa. Tujuh tahun dan tak pernah sedetikpun saya melupakannya. Kenangannya terlalu banyak di setiap langkah yang saya jalani. Daripada melupakannya, saya membiarkan dia tetap tinggal disini," ia memegang dadanya, mungkin maksudnya ia akan membiarkan istrinya tetap berada di hatinya, "melepaskan orang yang menemanimu bertahun-tahun tentunya tidak mudah, saya sudah melaluinya dan saya menyerah. Saya menyendiri dan menutup diri. Seorang teman berkata kala itu, kamu tidak perlu melupakannya atau melepaskannya, cukup biarkan dia tetap hidup di dalam dirimu. Marien selamanya tidak akan pergi, dia akan selamanya disana menemanimu, itulah caramu mengikhlaskannya. Membiarkannya hidup dalam bentuk yang lain. Demi kebahagiaan dirimu sendiri dan semua orang. Jangan pernah menutup diri akan kehadiran orang lain yang ingin membantumu."
Kata-kata Harold menghantamnya begitu keras, mungkin itu yang harus ia lakukan juga. Membiarkan Papanya tetap hidup di dalam dirinya. Pemikirannya, mimpinya, kehangatannya, banyak hal yang bisa Gantara ingat dan ia biarkan tetap menjadi bagian hidupnya bersama sang ayah.
"Melakukan memang tidak semudah kalimat, tapi ternyata teman saya benar. Tetap membiarkan Marien hidup di dalam diri saya adalah cara terbaik. Saya menikmati semua kenangan saya disini bersamanya, tak lagi bersedih. Hanya kebahagiaan dan ketenangan hadir disana." Harold kembali menyesap kopinya hingga hampir habis. Gantara termenung, ada jeda di antara percakapan itu. Harold sudah mampu mendobrak hatinya dengan cara yang tak terduga. Dirinya perlahan menyadari kalau ia mulai menemukan tujuan dari perjalannya disana. Senyum getir hadir disana.
"Marien was so lucky to have you Sir. Kalian benar-benar pasangan sejati di mata saya."
"I am lucky, Nak. Bukan hanya pernah tapi juga selalu begitu. Kehilangan cinta memang tak selalu mudah, tapi yang penting berbahagialah untuk dirimu sendiri. Tidak akan ada cinta di sekelilingmu jika kamu tak membuat dirimu bahagia Nak."
Seperti kata Shira, gue harus bahagia.
Butiran salju turun dengan anggunnya, membuat Gantara terpana," Ah salju benar-benar datang. Mungkin sudah waktunya kembali ke rumah. Mereka senang sekali mengajak saya bermain salju – cucu-cucu saya –."
"Terima kasih sudah berbagi kepada saya, Sir. You know, it means a lot for me."
Harold kembali tertawa seraya menghembuskan nafas yang sudah membaur dengan udara dingin,"It's my pleasure. Pulanglah, mungkin ada bahagia yang juga menantimu nak. Tot ziens Gantara. Sampai jumpa."
Gantara menatap punggung itu berlalu ditemani kilasan salju yang silih berganti turun menghempas tanah. Menyendiri ternyata bukan jawaban. Yang dia butuhkan ternyata memang bukan kesendirian. Dia butuh seseorang yang menyadarkannya, dia membutuhkan orang lain untuk menemukan kebahagiaan. Kesendiriannya tidak pernah berakhir dengan jawaban. Harold yang notabene adalah orang asing malah hadir untuk menuntunnya menemukan jawaban.
Lalu pikirannya beranjak menuju Shira. Shira yang ia temui setibanya disini mungkin memang jalannya untuk bahagia. Coba pikirkan, sesederhana melihatnya tersenyum sesungguhnya sudah mampu menenangkan hatimu bukan Ta? Membuat luka itu perlahan tak lagi terasa pedih. Jalanmu mungkin tidak akan hadir dari dirimu sendiri, mungkin memang harus lewat orang lain. Kamu harus berterima kasih padanya Gantara. Dia yang tanpa kamu sadari telah menyembuhkanmu dari semua luka ini. Tuhan mungkin memang punya rencana. Ia selalu punya rencana terbaik, tanpa kau sadari.
-:-:-:
KAMU SEDANG MEMBACA
Travelmate
Short Story"It doesn't matter where you're going, it's about who you have beside you." Shira Baskoro tak pernah menyangka akan bertemu dengan seorang Gantara Akbar -- mantan pacar sahabatnya -- di tengah perjalanan pulang dari Amsterdam menuju Groningen. Ia ha...