Aku tersenyum, menatap puas pantulan diriku di cermin. Kedua lesung pipit tercipta di pipiku. Mama mengucir rambutku menjadi dua bagian. Sederhana, cocok untuk anak SD berumur 8 tahun sepertiku.
"Ulangan matematikanya nanti dipikir bener-bener ya, Na. Tadi malem kan udah diajarin Kak Rara."mama merapikan lagi sedikit rambutku, lalu ikut bercermin. Mengecup kepalaku lembut.
"Nana takut dapet enol lagi, Ma. Kenapa ya, Nana gak bisa pintel kayak Kak Lala?"gumamku. Yap, selain bodoh, aku juga cadel. Namaku Kinara, biasa dipanggil Nana kalau di rumah. Kenapa mereka memanggilku Nana? Itu untuk mempermudahkan diriku menyebut namaku sendiri. Daripada jadinya Kinala, kan jelek.
Kesal juga, sudah umur segini masih cadel. Semakin banyak olokan yang kudapat di sekolah. Huh.
Mama terdiam. Selalu, mamaku tidak bisa menjawab pertanyaanku yang itu. Aku sudah tahu jawabannya. Yah, karena takdir.
"Kak Rara pinter kan karena rajin belajar. Nana kalo rajin belajar juga bisa pinter kok kayak Kak Rara."selalu, jawaban itu yang mama ucapkan. "Katanya Nana mau jadi dokter kayak papa. Nana harus semangat dong, sekolahnya!"mama tersenyum menyemangati.
Aku bersyukur punya mama yang sabar dan menerimaku apa adanya. Justru papa lah yang sering memarahiku setiap dapat nilai buruk. Tapi aku memaklumi, wajar kalau papa marah. Karena papa tahu aku ingin menjadi seperti dirinya. Seorang dokter. Dibalik itupun aku tahu, kalau papa sangat mendukung cita-citaku.
Meskipun dicap bodoh, cita-citaku sangat tinggi. Aku ingin menjadi dokter spesialis jantung, kardiovaskuler. Karena aku ingin menjaga mama, melindungi dan menyelamatkannya jika penyakit jantung mama kambuh sewaktu-waktu.
Kalian boleh menertawaiku. Aku sudah sering mendapat penghinaan macam begitu, bahkan lebih. Yang paling menyakitkan, ketika mendapat hinaan dari dia, orang yang kusukai dari TK. Hahaha lebay. Nanti, kalian akan tahu orangnya seperti apa.
"Deeek, cepet turun! Ditunggu papa di mobil!"teriak Kak Rara dari bawah. Mama melotot, begitupun denganku. "Ayo Na, cepet ke bawah! Untung tadi mama udah bikin roti."
Kami menuruni tangga cepat-cepat. Kriek. Daster mama sobek. Aku tertawa, mama juga tertawa. Kompak sekali, kan?
Bugh. Kali ini aku yang meringis. Jatuh di anak tangga terakhir. Sungguh mengenaskan. Giliran mama yang tertawa sambil menarikku berdiri. Kak Rara hanya geleng-geleng.
Aku sama mama itu sama, sama-sama tomboy dan nggak ada kalemnya. Beda dengan Kak Rara, yang feminin, lemah lembut, mungkin mewarisi sifat papa yang cool.
Meskipun kalem, Kak Rara gadis yang terbuka, gampang menceritakan apa saja pada orang lain. Berbeda denganku yang sangat tertutup, tapi begajulan.
"Pa, kok berangkatnya pagi banget sih? Daster mama sampe sobek nih gara-gara keburu!"omel mama ketika melihat papa berjalan masuk menghampiri kami. Mama cemberut, papa mengacak rambut mama yang dikuncir acak adut.
"Ya kamu ngapain lari-lari segitunya, sayang. Aku berangkat lima menit lagi. Ada operasi pagi."mama manggut-manggut lalu memeluk papa erat. "Ah papa ganteng deh! Coba mama jadi dokter juga hiks. Jangan selingkuh sama suster-suster disana loh!"mama mengerucutkan bibir sambil melotot galak. Padahal matanya cenderung sipit, jadi melototnya ya segitu-segitu aja.
"Kalo selingkuhnya sama dokter cewek, gapapa dong berarti?"goda papa seraya mengerling nakal. "Iiiih papa jahat!"mama langsung melepas pelukannya dan beralih memelukku. "Huhuhu papa jahat, Na. Kamu nanti jangan dapet suami jahat kayak mama ya, nak."aku menepuk punggung mama dramatis. Selalu seperti ini kalo mama merajuk, pasti akulah sasaran galaunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) A Stupid Love
Teen Fiction[Sequel Regret]-nggak harus baca kok, monggo dibaca kalo mau- Cantik sih cantik, tapi kalo bodohnya kebangetan? Siapa coba yang mau. Kinara, gadis kecil yang selalu mendapat nilai telor di pelajaran matematikanya. Hidupnya selalu dibanding-dibanding...