Hiyaaa akhirnya update~ selama apapun cerita ini pasti dilanjut kok ;)
Happy reading ^^
Aku mengernyit, menelaah pertanyaannya barusan. Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu?
"Gue nggak tau."jawabku cuek, tidak serius menanggapi. Itu jawaban jujur kok, memang aku beneran gatau. Zafran menatapku tajam, tangannya terkepal di samping kanan-kiri tubuhnya.
"Gue nanya serius, Kin! Gue nggak mau keadaan jantung lo separah punya nyokap lo!"bentaknya, membuatku termangu di tempat. Aku membuang muka, demi apapun aku sangat benci ada orang asing ikut campur urusan penyakitku. Adrian dan Rian, dua orang terdekatku saja hanya berani mengingatkanku untuk minum obat atau tidak beraktivitas berat. Mereka tidak pernah memaksaku untuk melakukan operasi secepatnya. Karena mereka tahu, aku benci orang lain ikut campur urusanku.
Satu hal yang paling penting. Menurutku, hanya akulah yang tahu batas-batasku dan apa yang terbaik untuk diriku sendiri.
"Gue rasa kita gak perlu bahas itu sekarang. Lagipula lo tau, itu bukan urusan lo."aku menjawabnya datar, dengan nada sedingin mungkin.
"Oke. Mungkin ini emang bukan urusan gue untuk saat ini. Tapi inget, kalo lo kenapa-napa, gue dokter yang nanganin elo. Dan gue gamau, nanganin pasien yang hampir sekarat gara-gara keras kepala."
Aku berdiri, berbalik memunggunginya. Air mataku menggenang di pelupuk, enggan jatuh di hadapan pria yang paling kubenci saat ini. "Kalo lo gamau, biarin gue mati. Simple, kan?"
"Kinara!!"
"Diem!!!"teriakku, berbalik menatapnya tajam dengan bertumpah air mata. "Lo bukan siapa-siapa gue, Zaf! Lo nggak berhak ngatur hidup gue ini itu! Yang harusnya lo urusin itu Kak Rara, bukan gue! Lo nggak tau rasanya jadi gue gimana, Zaf... Lo nggak pernah ngerasain sakitnya waktu kambuh, seolah-olah nyawa lo hampir dicabut! Lo nggak pernah tau, gimana kecewanya waktu ada pendonor jantung tapi gak cocok sama lo!"aku melampiaskan segala amarahku yang sejak tadi kutahan.
Dan aku lupa, untuk apa aku menangis di hadapan pria batu sepertinya. Memalukan sekali, Nana.
Hampir saja aku beranjak pergi, namun lenganku ditahan. Ia menatapku penuh penyesalan, lalu berkata, "Maaf. Maafin gue, Kinara. Gue emang bener-bener nggak tau penderitaan lo."buru-buru aku menepis tangannya, saat aku menyadari ia hampir menghapus air mataku.
"Maaf kalo gue udah bentak-bentak tadi. Gue cuma khawatir, jantung lo gak bisa bertahan se-lama jantung nyokap lo. Tapi cara penyampaian rasa khawatir gue salah. Sori."
Aku menghela napas, lalu mengangguk. "Gue maafin."kapan sih gue gak maafin lo, Zaf? Bahkan semua kesalahan lo dulu yang jauh lebih besar dari ini pun, gue udah maafin.
Apapun yang lo lakuin, gue nggak bisa bener-bener benci sama lo. Meskipun gue kepingin banget mutilasi lo.
Ponselku berdering, memecahkan keheningan sesaat diantara kami. Lian menelponku. Syukurlah, telpon disaat yang tepat.
"Assalamualaikum. Nana lo dimana?"
"Waalaikumsalam. Di rooftop."
"Gue susul kesana sekarang."
Tuuuut. Hanya seperti itu, yeh.
"Pasti Rian, ya? Kayaknya gue kudu balik duluan. Sekali lagi, gue minta maaf."Zafran menepuk bahuku, mengusap sisa-sisa air mataku. Kali ini aku tidak sempat menepisnya. Jadi kubiarkan saja, toh hanya itu. Hanya dalam hitungan detik.
Zafran menghilang dari pandanganku usai pintu lift sebelah kiri terbuka. Tidak sampai semenit, muncul Rian dari lift sebelah kanan. Wah, keren! Mereka gak saling bertemu rupanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/76413903-288-k158226.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) A Stupid Love
Teen Fiction[Sequel Regret]-nggak harus baca kok, monggo dibaca kalo mau- Cantik sih cantik, tapi kalo bodohnya kebangetan? Siapa coba yang mau. Kinara, gadis kecil yang selalu mendapat nilai telor di pelajaran matematikanya. Hidupnya selalu dibanding-dibanding...