Aku membuka mata, memandang langit-langit ruangan yang tampak tak asing di mataku. Setelah mengumpulkan nyawa, mataku membulat. Seketika perasaan tenang dan lega menghampiriku.
Yap, aku terbangun dengan seorang pria di sampingku. Aku tersenyum, walaupun hubungan kami merenggang, dia masih peduli padaku. Kulihat dressku sudah berganti dengan kaos putih kebesaran miliknya yang menutupi setengah pahaku.
Mungkin dia membawaku ke kamarnya karena rumahku sudah terkunci.
Ini bukan pertama kalinya dia melihat tubuhku. Kalau dulu aku malu, sekarang aku mau. Eh salah. Maksudku, aku percaya dia tidak akan melakukan hal lebih selain mengganti bajuku. Kecuali kalau dia terhasut bisikan setan dan khilafnya yang kutunggu-tunggu itu terjadi.
Astaga, kenapa aku terdengar murahan.
Aku memandang wajah polosnya yang tertidur lelap di sampingku. Wajah yang selalu kukagumi, bahkan sejak aku mengenal kata 'tampan'. Hanya ada satu yang tidak kusukai dari segi fisik, yaitu tatapan dinginnya.
Tanganku terulur, mengusap kepalanya. Betapa aku sangat merindukan dirinya beberapa hari terakhir. Dan rasa rinduku seolah terobati malam ini. Aku mendekat, mencium keningnya cukup lama untuk menyalurkan rinduku. Beralih mengecup sebelah pipinya, lalu memejamkan mata memeluknya.
Debaran untuknya masih sangat terasa.
***
"Pagi om, tante."sapaku ceria ketika menuruni tangga dengan cepat. Aku mencium sekilas pipi tante Dinda dan om Diki, yang sudah kuanggap mama papa ku itu. "Kamu itu nggak boleh lari-lari, sayang."tante Dinda memperingatkan. Aku nyengir, kata-katanya terdengar seperti menceramahi anak kecil.
"Kinan banget ya, Din. Heboh."celetuk om Diki. Tante Dinda mengangguk-angguk cepat, tertawa. "Rian mana? Kok nggak ikutan turun?"tante Dinda melihat ke arah tangga.
"Lian masih mandi, Te. Oh ya, kak Rion mana?"aku tidak melihat keberadaan kakak sintingku itu di penjuru ruang makan. "Tadi malem nelpon, katanya dia nginep di rumah temennya yang punya motor."
"Oh.."
"Rian? Sini nak, sarapan dulu. Kamu ada jadwal ke rumah sakit hari ini?"tante Dinda melihat ke arah tangga. Aku berbalik, menatapnya yang tampak rapi dengan balutan kemeja biru tua dan celana jeans hitam.
Lelaki itu menggeleng. "Enggak Ma, Rian ada acara sama temen."jawabnya, sambil memasang jam tangan sport di tangan kanannya.
Temen? Temen yang mana ya? Duh, jadi kepo. Fyi aja, tidak ada satupun teman Rian yang tidak aku ketahui.
Dan Rian sama sekali tak menatapku pagi ini. Menganggap kehadiranku seperti makhluk gaib yang tidak kasat mata. Aku menghela napas, mau sampai kapan seperti ini.
Ia duduk di seberangku. Seperti biasa, tanpa disuruh aku mengambilkan nasi untuknya. Menuang lauk yang dia suka, lalu menyodorkan piringnya. Barulah aku mengambil untuk diriku sendiri.
Itulah kewajibanku jika berada di ruang makan keluarga ini.
Okelah, gausah baper. Makan ya tinggal makan aja kali, ga perlu mikir macem-macem.
"Nana ada jadwal ke rumah sakit nggak?"aku mengingat-ingat, lalu menggeleng pada tante Dinda. "Kalo nggak ada panggilan mendadak, Nana free sih hari Minggu ini. Kenapa, Te?"tanyaku balik.
"Wah kebetulan. Tante sama mama kamu mau shopping. Kamu ikut ya?"
Mampus gue! Gajian aja belum turun, karena belum tanggalnya. Lagipula aku juga tidak bisa menghabiskan tabunganku untuk shopping beberapa bulan ke depan. Aku butuh banyak biaya untuk membangun rumah sesuai rancanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) A Stupid Love
Teen Fiction[Sequel Regret]-nggak harus baca kok, monggo dibaca kalo mau- Cantik sih cantik, tapi kalo bodohnya kebangetan? Siapa coba yang mau. Kinara, gadis kecil yang selalu mendapat nilai telor di pelajaran matematikanya. Hidupnya selalu dibanding-dibanding...