Happy reading ^^
Aku menyusuri koridor rumah sakit. Jangan dibayangin, ini tuh sepi nggak ada orang kayak di tipi-tipi. Rumah sakit ini lumayan rame, untuk ukuran RS swasta. Mungkin karena pelayanannya cepat, memuaskan, dan biayanya terjangkau.
Ini gue ngendorse loh ceritanya.
Dokter merangkap sales gue mah.
Aku memasuki gedung kelas 3. Beginilah nasib dokter baru, kudu mau disuruh-suruh. Apalagi di kelas 3 ini, pasiennya teramat sangat banyak. Dibandingkan kelas 2 atau kelas 1 tentunya.
"Selamat pagi, nenek."sapaku ceria pada seorang pasien wanita tua yang terbaring lemas di brankar. Nenek itu tersenyum, menyambutku. Sayang, diantara pasien-pasien lain hanya nenek ini yang tidak ditemani keluarganya.
"Saya dokter baru disini. Kebetulan ditugaskan menggantikan Dokter Intan yang sakit hari ini. Nenek masih belum bisa buang air besar ya?"tanyaku, mengelus punggung tangan nenek itu lembut. Lalu beralih mengecek infus yang tergantung.
Nenek itu mengangguk. Tatapannya menyiratkan luka, membuatku iba. "Dokter namanya siapa? Dokter cantik sekali, seperti cucu saya."
Aku tersenyum. "Nama saya Kinara, Nek. Wah, pasti cucu nenek cantik banget ya. Kapan-kapan saya boleh berkenalan dengan cucu nenek?"tanyaku ramah. Binar mata nenek itu memudar. Membuatku merasa bersalah atas pertanyaanku.
"Cucu saya pergi jauh, Dokter. Saya tidak tahu, kabar anak-anak dan cucu-cucu saya."
Aku tersenyum getir. Kasihan nenek ini. "Kalau begitu, nenek boleh anggap saya cucu nenek kok. Nenek harus semangat!"aku mengepalkan tangan di udara. Tersenyum lebar pada nenek ini.
Nenek itu tertawa melihat tingkahku. "Ah kamu lucu sekali, Nak. Sungguh beruntung suamimu kelak."nenek itu menepuk-nepuk tanganku. Aku tertawa kecil.
Jodoh, ya?
"Oh ya. Obatnya rajin diminum ya, Nek. Kalau sampai besok nenek belum bisa buang air besar, nenek harus diperiksa lagi. Ah ya, kalau detak jantung nenek tidak stabil, atau ada keluhan nyeri di bagian perut, nenek harus bilang ke Kinara. Oke, nek?"tanyaku sambil mengayunkan tangan di udara. Nenek itu menepuk tanganku, tos. "Pastiii."jawabnya dengan tawa. Aku tersenyum manis, lalu keluar ruangan.
Pasien selanjutnya. Anak SMA bandel kena demam berdarah. "Selamat pagi. Tadi kan udah diambil darah ya buat cek trombosit? Nah sekarang kakak mau kasih tau kalo jumlah trombositmu menurun, tinggal tiga puluh."
Anak laki-laki ini tampak acuh, ia membuang mukanya. Jelek banget ya gue sampe gamau liat?
"Masih lemes ya? Atau pusing? Kakak nyaranin banyak-banyak minum madu kurma kalo kamu gak suka jus jambu."
Barulah bocah laki-laki ini melihatku. Sebenernya bukan bocah, dia sudah SMA. Umurnya 17 tahun.
"Tau darimana lo, gue gak suka jus jambu?"tanyanya cuek. Aku melempar pandangan pada meja di sebelah brankarnya. Melihat jus jambu Bu*vita kemasan literan yang masih utuh.
"Itu buktinya. Kalau kamu pengen lemesnya ilang, trombositmu harus naik. Minta bawakan siapapun madu kurma atau jus sari kurma."
Dia tersenyum miring. Sedetik kemudian, tangannya menarik tanganku cepat, dan otomatis tubuhku limbung. Jarak wajah kami tidak sampai satu jengkal. Anak ini tampan, sayangnya menyebalkan.
"Gue nggak selemas yang lo kira. By the way, lo cerewet tapi cantik. Gue suka. Kalo lo yang bawain gue madunya, gimana?"tangannya beralih ke belakang leherku.
Kurang ajar ini mah.
Aku hampir berniatan memelintir tangannya, kalau tidak ingat statusnya sebagai pasien. Aku berusaha menarik kepalaku menjauh, tapi gagal. Tangannya lebih kuat. Sebenarnya dia DBD beneran gak sih?

KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) A Stupid Love
Teen Fiction[Sequel Regret]-nggak harus baca kok, monggo dibaca kalo mau- Cantik sih cantik, tapi kalo bodohnya kebangetan? Siapa coba yang mau. Kinara, gadis kecil yang selalu mendapat nilai telor di pelajaran matematikanya. Hidupnya selalu dibanding-dibanding...