Rian POV (akhirnyaa berhasil bikin)
Aku baru saja sampai di ruanganku. Setelah tadinya sempat mengecek kondisi pasien yang kuoperasi kemarin. Seperti biasa, aku berangkat bersama Nana. Tapi kami terpisah di parkiran karena gedung departemen kami yang berbeda.
Pintu ruangan terbuka, Adrian masuk membawa dua cangkir vanila latte yang masih mengepul asap. Ia tersenyum hangat menyapaku, lalu mendekat.
"Pagi, Rian."sapanya ramah. Aku balas tersenyum, "Pagi, Dri."jawabku singkat. "Tadi gue sengaja beli kopi 2, kata Bu Karti gue pembeli pertama. So, gue dapet diskon. Nih satunya buat lo."ia menyodorkan salah satu cangkir kopi itu padaku. Aku menerimanya, "Thanks, bro."
Dalam hati aku membatin, jarang Adrian mau berbicara panjang lebar denganku. Kami memang akrab sejak lama, mengingat dia adalah kakak tingkatku sejak kuliah dulu. Apalagi kami memilih spesialis yang sama. Tapi dia tipikal irit bicara, hanya berbicara panjang pada orang-orang tertentu. Bahkan dia lebih dingin dariku.
Sepertinya moodnya sangat baik hari ini.
Adrian lelaki yang baik. Hubungan kami tidak berubah walaupun dia tahu siapa aku sebenarnya. Aku masih ingat Nana memperkenalkanku padanya sebagai sahabatnya. Ia tetap mengizinkan aku untuk bersama kekasihnya kapan saja.
Tapi entah karena apa, tatapan Adrian padaku berubah. Dia memang tetap memperlakukanku sebagai adik tingkat bahkan temannya, tapi sorot matanya ketika melihatku, tidak seperti dulu. Aku tidak pernah berniat tanya apa sebabnya. Karena sampai detik ini, aku tidak bisa mengenal sosok Adrian yang sesungguhnya.
Mungkin hanya Nana yang bisa mengenal Adrian dengan baik.
"Yan? Gue mau minta pendapat lo."ujarnya, duduk di sofa ruangan kami. Aku mengernyit, tumben sekali. Jangan bilang, ini tentang Nana.
Aku duduk di sebelahnya. "Tentang?"tanyaku seraya menaikkan alis. Ia tersenyum, matanya menerawang. "Gue mau ngelamar Kina hari ini."
Uhuk. Tiba-tiba saja aku tersedak vanila latte yang baru saja kuseruput. Adrian menepuk bahuku, aku tersenyum kecil mengatakan tidak apa-apa. Astaga, kata-katanya barusan seperti petir di pagi hari.
Ucapannya sangat menohokku. Seolah menjatuhkanku dari tebing menuju jurang yang penuh bebatuan. Kini Adrian benar-benar menamparku, lelaki pengecut yang hanya bisa menyembunyikan perasaanku pada seorang wanita sepanjang umurku. 23 tahun usiaku, dan selama itu pula aku mencintai wanita itu.
Kinara Febriana Aryafandi. Dialah gadis yang mengisi hatiku selama ini. Sahabatku, gadisku, teman hidupku. Kekasih Adrian.
Aku berusaha menyembunyikan keterkejutanku. "Lo serius?"tanyaku basa basi. Adrian tersenyum mengangguk yakin, "Menurut lo gimana, Yan? Lo punya saran buat gue?"
Pertanyaan yang sangat sulit. Hatiku mencelos, aku tau suatu hari ini pasti terjadi. Saat dimana Nana harus meninggalkanku dan dimiliki Adrian seutuhnya. Tapi aku belum siap untuk saat ini. Entahlah, atau bisa jadi aku tidak pernah merasa siap. Aku sangat takut kehilangan Nana, gadis bodohku.
"Dia pasti nerima lo, Dri. Nana cinta banget sama lo. Lo gausah khawatir."jawabku menenangkannya. Karena aku tau dari nada suaranya, dia sedikit gugup.
Ia menutup mata sejenak, lalu menoleh kearahku. "Ada saran buat gue? Ini pertama kalinya, gue serius sama cewek. Lo sahabatnya, jadi sekalian gue minta izin ke lo buat menjaga dia seutuhnya."
Mataku menatap lurus, menerawang apa yang terjadi setelah ini. Nana meninggalkanku. Itulah yang pasti terjadi jika dia menerima lamaran kekasihnya. Perhatian Nana akan sepenuhnya teralihkan untuk suaminya. Bukan untukku lagi. Prioritas utamanya, bukan lagi aku.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) A Stupid Love
Teen Fiction[Sequel Regret]-nggak harus baca kok, monggo dibaca kalo mau- Cantik sih cantik, tapi kalo bodohnya kebangetan? Siapa coba yang mau. Kinara, gadis kecil yang selalu mendapat nilai telor di pelajaran matematikanya. Hidupnya selalu dibanding-dibanding...