Mohon dimaklumi sekiranya mengecewakan :( author tau ini cerita gaje banget, alurnya juga enteng .-.
Happy reading ^^
Sekarang kami berlima di meja makan. Aku duduk berhadapan dengan Zafran, di sebelahnya Rian. Aku berusaha santai, selow. Dalam hati ya, dag dig dug derr. Detak jantungku berubah cepat hanya dengan melihatnya kembali, setelah belasan tahun. Dan rasa ini, debaran ini, terakhir kurasakan saat bersama Adrian.
Ah, udahlah. Kok gue jadi melow gini. Zafran cuma masa lalu, iya masa lalu buruk. Seburuk pantat panci. Hitaaam. Dan kelam.
Kurasakan Rian berkali-kali mencuri pandang ke arahku. Ia menyenggol lututku, mungkin bisa menebak apa yang kupikirkan. Kesel, dongkol, pengen nggigit, pengen njambak, pengen nendang, pengen bunuh Zafran kalo bisa. Yang terakhir canda deng, gue bukan psikopat. Lagipula aku sudah memaafkannya, di hari keberangkatanku ke Jerman 15 tahun lalu. Memaafkan, bukan berarti melupakan.
Semua itu masih terekam jelas. Amat sangat jelas las las.
"Jadi sebelum ini kalian pernah bertemu?"tanya mama menyadari perubahanku yang mendadak diam. Biasanya, aku paling cerewet kalo lagi kumpul makan gini.
Aku melempar pandangan pada Zafran. Lelaki itu terus menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Apa sih maunya? Dasar cowok songong. Aku menaikkan alisku, menantangnya. "Sekali. Di bandala waktu Nana pulang tadi."jawabku santai. Rian menumpangkan satu kakinya di atas kakiku, mungkin lelah menyenggol lututku dari tadi. Jail emang.
"Zafran ini satu SD sama kita lho, dek. Kalian bertiga seangkatan, tapi mungkin gak pernah ketemu ya? Zafran dulu kelas A."Kak Rara menatapku sekilas, lalu melanjutkan makan.
Aku manggut-manggut, seolah baru tau. Padahal ya, ada upil dibalik hidung. Seenggaknya dengan sifat tertutupku yang kuwarisi dari mama, aku pintar menutup-nutupi. Pintar akting. Pernah loh, dulu ditawarin jadi pemeran figuran ala-ala di sinetron gitu. Tapi aku nolak halus, fokusku cuma ngejar impian jadi dokter kardiovaskuler. Titik.
Back to topic~
"Wah, berarti pinter banget dong ya. Nggak beda jauh sama Kak Lala, yang dulunya kelas B."aku tersenyum miring. Woho, cadelku sempat ilang tadi. Kak Rara tersenyum manis, setengah malu-malu meong. Malu-malu kucing maksudnya.
"Oh ya Fran, mulai besok Nana kerja di rumah sakit Nusa Permata. Sama kayak kamu. Tolong bantu adikku untuk beradaptasi dengan tempat kerjanya yang baru. Dia pindahan dari rumah sakit di Jerman."
Zafran melirikku. Keningnya mengernyit, "Jadi apa?"tanyanya dengan nada meremehkan. Cuih, nggak ridho aku punya kakak ipar sok begini.
"Nana dan Rian masih dokter umum, Fran. Sama kayak kamu. Oh ya, tante lupa. Kamu ambil spesialis apa?"mamaku menatap Zafran sambil mengiris daging empalnya.
Zafran tidak langsung menjawab. Tatapannya lurus dan tajam ke arahku. Kenapa kalo gue jadi dokter? Kok kayaknya situ kaget banget. Emang situ doang bisa jadi dokter? Hih.
"Kardio, tante."jawabnya singkat. Aku langsung keselek timun. Untung timunnya gak gede. "Sama kayak gue."gumamku. Zafran tersentak, luar biasa kagetnya. Karena apa? Untuk mengambil spesialis kardiovaskuler, itu tesnya susah buanget, lebih susah dari spesialis-spesialis lain.
Papa aja dulu tes sampe tiga kali nggak keterima, dan berakhir di spesialis anestesi. Padahal papa pinter pake begete.
Aku sendiri bingung kenapa langsung lulus tesnya. Alhamdulillah pasti. Cita-citaku sebentar lagi benar-benar terwujud. Allah meridhoi, dan aku sangat beruntung. Tak henti-hentinya aku mensyukuri hal ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/76413903-288-k158226.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) A Stupid Love
Teen Fiction[Sequel Regret]-nggak harus baca kok, monggo dibaca kalo mau- Cantik sih cantik, tapi kalo bodohnya kebangetan? Siapa coba yang mau. Kinara, gadis kecil yang selalu mendapat nilai telor di pelajaran matematikanya. Hidupnya selalu dibanding-dibanding...