Aku mengetuk balkon kamar Rian. Lampu kamarnya mati, tapi mobilnya sudah terparkir di garasi. Dia sudah pulang, kenapa kamarnya sepi? Padahal ini masih jam 10 malam. Biasanya dia belum tidur jam segini.
Atau dia masih dinner dengan Aya? Seingatku dinnernya hari Minggu ini. Astaga, jika benar itu terjadi. Aku sangat khawatir sekarang.
Aku menelpon Rian, berharap sesuatu berbunyi di dalam kamar. Ternyata tidak ada suara apapun, itu artinya si empunya tidak ada di kamar ini.
Aku berjalan mondar-mandir di balkon kamarnya. Kalau aku lewat pintu depan, pastinya aku tidak enak dengan tante Dinda.
Aha! Satu-satunya cara, menelpon kak Rion.
Tiga detik... Lima detik... Panggilan pun terangkat.
"Halo, Kin? Nyari Rian ya? Jangan bilang lo lagi di balkon kamarnya dia sekarang?"
Beginilah kak Rion, 'agak' cerewet.
"Iya kak. Lo tau Rian dimana? Dia minjem mobil lo ya?"tebakku. "Dia gak ngomong apaapa ke gue, cuma minjem mobil aja. Bentar ya Kin, gue ke kamar Rian bukain lo pintu. Lo tunggu disitu."
Tut. Panggilan terputus. Tak lama, lampu kamar di depanku nyala. Kak Rion membuka pintu penghubung balkon, menyuruhku masuk dan menunggu Rian di kamarnya. Berkali-kali aku menelpon Rian, dan nomornya tidak aktif.
Pasti hpnya kehabisan baterai. Aku duduk di pinggiran kasur, mencari kontak orang-orang yang sekiranya tau keberadaan Rian. Aku menelpon bagian resepsionis rumah sakit, menanyakan kali terakhir Rian ada disana. Informasi yang kudapat, dia keluar rumah sakit sekitar jam 5 sore. Sebelum dirinya pulang dan meminjam mobil kak Rion.
Artinya dia tidak kembali ke rumah sakit setelah itu. Dan juga tidak menjemput Aya disana untuk makan malam.
Lantas, kemana perginya anak itu? Aku berniat menelpon Adrian, menanyakan apakah malam ini ada acara khusus di departemennya. Tapi aku mengurungkan niatku, tidak mungkin Rian lupa mengabariku jika memang ada acara departemen.
Lagipula aku tidak enak dengan Adrian.
Kak Rion menepuk pelan bahuku, mencoba menenangkan. Memang kalau sesuatu berhubungan dengan Rian, akulah orang pertama yang paling cemas diantara lainnya. Bahkan dibanding kakak kandungnya maupun tante Dinda, mamanya.
Karena aku dan Rian memiliki ikatan batin yang kuat satu sama lain. Kami selalu bersama, 23 tahun ini. Disaat dia terpisah dengan keluarganya, akulah yang menemaninya. Kami memang tidak pernah terpisahkan sepanjang umur kami.
"Kak, gue takut. Rian sama sekali nggak ngabarin gue kak. Ini udah hampir jam sebelas, gue takut Rian kenapa-napa."
"Kin, adek gue tuh udah gede. Dia bisa jaga dirinya sendiri. Lo kudu tenang, bisa aja kan dia hp nya mati kehabisan baterai? Dan mungkin dia emang lagi ada urusan penting yang mendesak."
"Tapi kak.. Gue khawatir banget. Gatau kenapa gue punya firasat,"aku memberi jeda, menelan ludahku gugup. "Dia lagi ada di.....club."lanjutku. Kak Rion menghela napas. Ia mengacak rambutnya frustasi.
"Dia udah lama banget gak pergi ke tempat gituan, Dek."
Kak Rion sering memanggilku dengan sebutan 'Dek' seperti dia memanggil Rian. Walaupun tetap lebih sering memanggil namaku langsung.
"Ayo kak, antarkan aku!"aku berdiri, berlari ke gantungan di samping pintu, tempat Rian biasa meletakkan kunci mobilnya. Lalu meraih jaket Rian di balik pintu, mengenakannya.
Kak Rion tanggap menyusulku yang kini berjalan cepat menuruni tangga. Saat kami hendak membuka pintu, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Aku meraih gagang pintu dengan cepat, berharap Rian lah yang kulihat saat pintu terbuka nanti.

KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) A Stupid Love
Teen Fiction[Sequel Regret]-nggak harus baca kok, monggo dibaca kalo mau- Cantik sih cantik, tapi kalo bodohnya kebangetan? Siapa coba yang mau. Kinara, gadis kecil yang selalu mendapat nilai telor di pelajaran matematikanya. Hidupnya selalu dibanding-dibanding...