(5) Makan Siang

614 42 9
                                    

Terima kasih buat semua yang tetep mau baca cerita ini~ Happy reading ^^

Aku berbaring di atas tempat tidur dengan sprei putih-biru ini. Menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Kamar bercat biru tua ini bukan kamarku. Tapi gelagatku seolah akulah si pemilik kamar.

Setelah makan malam harusnya tidak boleh berbaring seperti ini. Bisa menyebabkan perut buncit. Nggak apalah, sekali-sekali. Palingan cuma naik satu ons doang.

"Na, geser napa sih! Kasurku sesek gara-gara kamu nih."pemilik kamar melempar bantal dari kursi kerjanya tepat mengenai mukaku. Ia terkekeh, aku cemberut sebal. Tak urung aku bergeser minggir lalu berbaring miring membelakanginya.

"Idih, ngambek. Maaf deh, maaf."lelaki itu menarik bahuku agar berbalik menghadapnya. Kami berjarak sangat dekat, bahkan wangi sabunnya sehabis mandi sebelum makan malam tadi masih tercium jelas.

Dan rasa asing itu masih ada. Kami memang sering berada berdua di atas ranjang untuk menonton televisi bersama atau menghabiskan malam dengan curhat seperti biasa. Tapi kegugupan itu masih terasa sejak aku mengakui bahwa aku mencintainya, dulu. Aku menginginkan dia berstatus lebih dari sahabatku, dulu. Namun meski rasa itu telah memudar kini, kenapa gugupnya masih membekas?

"Jangan deket-deket deh, Li. Ntar lo nya napsu, terus khilaf. Kan bahaya!"aku mendorongnya kuat-kuat agar menjauh. Rian tertawa, tawa menyebalkan.

"Badan kecil gitu. Nggak ada bagus-bagusnya, Na."Rian memandangku dengan tatapan menghina. Aku melotot, mencubit lengan kekarnya. Dia rajin berolahraga, bentuk tubuhnya wuuhhh...top kayak Adrian. Nggak tau deh kalo Zafran.

Hah Zafran?

Makhluk dari mana itu?

"Tapi bener sih, kamu gak pernah napsu liat aku. Jangan-jangan kamu......."aku menggantungkan kalimatku, takut kalo ternyata apa yang akan kuucapkan benar.

Rian spontan menjitak kepalaku. "Nggak usah mikir aneh-aneh. Lupa sama ciuman pertamamu?"

Aku langsung bungkam. Teringat saat-saat dimana kami masih kuliah semester 1. Waktu itu kami hanya berdua di rumah. Om dan tante, juga sepupu-sepupu Rian pergi berlibur mengunjungi tempat-tempat wisata. Aku dan Rian tidak bisa ikut, disibukkan oleh bertumpuk-tumpuk tugas kuliah yang bikin mampus.

Hari itu, di malam harinya hujan mengguyur deras. Petir menyambar dimana-mana. Aku bukannya takut petir, sama sekali bukan. Aku tidak secupu itu. Kami mengerjakan tugas kuliah bersama di atas tempat tidurnya sambil menyender pinggiran kasur, menyalakan televisi sebagai hiburan.

Sampai akhirnya, cetup! Televisi mati. Lampu mati. AC mati. Alias mati listrik. Aku yang memang phobia gelap sejak kecil, langsung melompat memeluk Rian dan menangis sesenggukan. Aku memang tidak berteriak, tapi napasku perlahan semakin sesak. Aku ketakutan. Keringat dingin mengucur deras dari keningku.

"Na, tenang Na. Ada aku disini, di samping kamu. Kamu jangan bayangin sendirian, ya?"Rian mengusap-usap punggungku. Kedua tanganku masih memeluknya erat, takut dia menghilang ditelan gelap. Entah, pemikiran bodoh memang. Mana ada seseorang lenyap karena gelap? Tapi percaya deh, kalo kalian punya phobia gelap, pasti pernah merasa ketakutan macem begitu.

"Ca-cahaya..."gumamku. Setidaknya, setitik cahaya pasti membuatku jauh lebih tenang dari sekarang. "Hp kita ada di kamarmu. Tadi kan kamu pinjem buat sms Kak Rara. Lupa?"

Rian mendorongku, hingga pelukanku terlepas. Ia menyatukan tanganku, menggenggamnya erat. Perlahan ia mendorongku lagi, menuntun ke dekat jendela dengan sisa-sisa berkas cahaya bulan yang menyelisip.

Hingga akhirnya wajah malaikatnya itu memantulkan cahaya bulan dari luar. Hujan semakin reda, dan bulan mulai menampakkan keberadaannya. Aku menahan napas, memperhatikan wajahnya dari jarak yang sangat dekat. Jantungku berdegup kencang bukan main. Didukung perasaanku saat itu yang masih amat mencintainya.

(Not) A Stupid LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang