(10) Menjauh

358 29 2
                                    

Kinara POV

Aku menjalani hariku seperti biasa. Setelah lamaran Adrian beberapa waktu lalu, lelaki itu semakin lembut memperlakukanku. Seolah aku adalah boneka porselen yang mudah retak. Kesibukannya pun dikurangi, sepadat apapun jadwalnya ia pasti meluangkan waktunya untukku di hari Sabtu atau Minggu.

Semua pengorbanannya hanya untukku. Membuatku semakin menyayanginya.

Menyayangi, bukan berarti mencintai.

Contohnya hari ini. Ia rela meninggalkan rapat perusahaannya hanya untuk menemaniku kontrol. Padahal ya, hasil ceknya begitu-begitu saja. Jantungku tidak membaik, dan tidak memburuk pula. Syukurlah.

Dokter Ridwan yang memeriksaku. Zafran tidak menunjukkan batang hidungnya sedikitpun sedari tadi. Mungkin dia masih takut dengan keberadaan Adrian. Atau dia ada urusan lain? Entahlah, aku jarang bertemu dengannya akhir-akhir ini.

"Kinara, kamu tidak boleh sering melalaikan obatmu. Obat itu sangat penting untuk memperkuat jantungmu. Kamu tahu sendiri kan?"tanya Dokter Ridwan, menatapku tegas. "Iya, Dok."jawabku menunduk.

"Adrian, kamu harus lebih memperhatikan kekasihmu. Kinara memang keras kepala, jangan menyerah untuk selalu mengingatkan anak bandel ini ya."

Aku memajukan bibirku kesal, enak aja aku dibilang anak bandel! Adrian tersenyum mengangguk, "Saya tahu. Dan saya tidak akan menyerah, Dokter."kekehnya di akhir perkataannya.

Setelah itu, kami berjalan menuju ruangan Adrian. Namun sepertinya semesta tak merestui kami untuk menikmati waktu bersama. Karena tiba-tiba, panggilan 'code blue' dan Zafran yang berlari-larian ke arahku mengacaukan semuanya.

"Kinara! Gue cariin lo kemana-mana ampe puyeng, ternyata lo disini! Ayo ikut gue."Zafran menarik tanganku begitu saja, ia bahkan melupakan keberadaan Adrian di sampingku tadi. Tapi Adrian tampak memaklumi, karena kondisi memang genting.

"Pelanin lari lo, Zaf. Gue, gue...sakit."lirihku, setelah beberapa meter berlarian menyetarakan kecepatan lari Zafran. Nafasku tersengal-sengal, padahal baru berlarian sebentar. Zafran berhenti, ia menatapku yang menunduk sambil memegangi jantungku.

"Lo kelamaan."tiba-tiba saja, Zafran menggendongku seperti karung beras. Ia berlari cepat menuju UGD sambil membawaku. Tanpa memperdulikan tatapan aneh orang-orang di sekitar kami. Aku hanya bisa menyembunyikan wajahku di balik punggungnya. Malu anjir.

Sesampai di depan pintu UGD, Zafran menurunkanku cepat. Aku tanggap, tanpa kesusahan aku sudah turun dari gendongannya. Begini begini aku pintar loncat, mengingat hobiku yang suka memanjat pohon.

"Dokter, pasien masih bayi. Katupnya bocor di dua tempat."

Aku mengucap istighfar dalam hati. Aku tidak pernah melakukan operasi jantung bocor bersamaan macam begini. Aku memang pernah mempelajari videonya, tapi hanya sebatas itu. Bahkan aku belum pernah mengoperasi seorang bayi.

"Siapkan ruang operasinya sekarang. Saya yang akan memimpin jalannya operasi."Zafran berujar mantap. Suster itu mengangguk, lalu permisi.

"Kinara, bantu aku."Zafran beralih menatapku, lalu meremas pelan kedua bahuku. "Jangan takut, aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi."tegasnya.

Apa aku bisa mempercayai Zafran? Entah setan apa yang merasukiku, dengan entengnya aku mengangguk.

***

Selama operasi berlangsung, aku mengerahkan seluruh konsentrasiku. Ingin rasanya aku menitikkan air mata, tidak tega melihat bayi ini harus dibedah. Tapi bagaimana lagi, semakin kami menunda operasi, semakin gawat pula keadaannya. Bisa bisa nyawanya melayang.

(Not) A Stupid LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang