dua belas

2.6K 152 19
                                    

"Iya, Ma.. Gayi lagi di apartemen.. Gak kemana-mana kok.. Iya.. See you too.."

Klik. Sambungan terputus. Dan meletakkan kembali handphone di nakas.

Kudongakkan kepalaku, mencoba memberitahu Aldric yang mana sedang istirahat setelah pertempuran kami beberapa menit yang lalu. Dahinya terlihat berkerut melihatku. Bagaimana aku harus mengatakannya?

Tangannya masih mengelus punggung polosku. "Kenapa?" tanyanya kemudian.

Aku menggigit bibir, ragu. "Mama mau datang. Sekarang lagi di jalan ke sini." Jelasku.

Gerakan tangannya terhenti. Aku segera bangun dari dadanya, sambil mengapit selimut untuk menutupi tubuh telanjangku. Aldric mengikut, dia segera berpakaian dengan cepat. Kukutip pakaian kotorku serta handuk kami yang tergeletak mengenaskan di lantai kamar, dan melemparkannya ke keranjang kotor. Dengan buru-buru aku mengambil kaus sepahaku dari lemari, dan pakaian dalam.

Tidak bohong, aku sangat panik sekarang ini.

Begitu terdengar suara bel dari luar, aku tidak tahan untuk tidak berteriak. Menyebabkan Aldric melihatku bingung.

"Jangan teriak, Bi."

"Maaf. Aku terkejut. Abis panik." kataku geram, dan mempercepat mengenakan celana dalamku.

Dia tersenyum, menarik tubuhku, lalu menyentuh bibirku dengan bibirnya lagi. Aldric melumat bibir bawahku sebentar, sebelum melepaskannya, dan mengecup keningku sekilas. Membuat aku sedikit tenang. Hanya sedikit, sampai aku benar-benar harus membereskan kamarku yang seperti kapal pecah.

"Saya tunggu di sini, jangan di tutup rapat pintunya."

Aku mengangguk. Entah apa yang direncakannya. Aku segera keluar dari kamar, sebelum Mama menunggu lama dan curiga padaku. Kurapikan rambutku yang berantakan, lalu membuka pintu.

Mama langsung memelukku erat, dan mencium kedua pipiku. Aku membawa beliau masuk, setelah menyakinkan pintu depan tidak tertutup rapat, dan mengajak Mama ke ruang lain. Kuletakkan beberapa kantung yang dibawa Mama di meja pantry yang kuyakin isinya adalah makanan.

"Mama nggak ngabarin Gayi kalau mau kesini." Kataku, mengambil jus di kulkas dan dua gelas kosong. Lalu menaruhnya di pantry.

Mama duduk di hadapanku. Tatapannya tidak menampakkan kecurigaan atau sejenisnya. "Mama pikir, akan langsung pulang. Ternyata beberapa turis pengin menginap sehari di Jakarta."

Kepalaku mengangguk mengerti. Mama mempunyai komunitas travel agent yang tinggal di Bali. Aku sering memaksanya untuk menetap di Jakarta, bersamaku. Namun selalu di tolak. Beliau ingin menikmati masa tuanya di sana, seraya mengembangkan keahliannya pada tanah liat.

Lebih tepatnya Mama punya pabrik tembikar sendiri yang beliau buat bersama teman-temannya yang lain.

Itulah alasan mengapa Mama menyuruhku untuk berhenti mengirimkannya uang setiap bulan padanya, yang mengharuskan aku untuk membantahnya tuk pertama kali.  Bagaimana bisa aku menerimanya? Dulu mungkin aku yang menjadi tanggung jawab Mama, namun sekarang Mama yang menjadi tanggung jawabku, sejak Papa meninggal dunia.

"Ini ada oleh-oleh pas di Bogor." Mama mengeluarkan makanan dari kantung plastik. "Kamu lagi gak ngehindarin kacang, kan?" Tanya Mama.

Aku menggeleng, memindahkan kacang bogor yang di bawa Mama ke toples kecil. Lalu memakannya. Ini cemilanku ketika kecil, sewaktu Papa masih ada dan kami tinggal di Bogor.

Seketika aku terbayang keadaan Aldric. Aku beranjak dari pantry, mengintip ke pintu yang sudah tertutup rapat. Kudapati diriku tersenyum sendiri, mengingat kejadian konyol kami barusan.

Mistake On RopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang