delapan

2.5K 163 14
                                    

Seharusnya waktu itu aku tidak mengikuti saran Putri. Kencan buta yang dibuatnya, menjadikanku bahan tertawaan Kika dan Pani seharian ini.

Sepulang dari rumah Pani, kami berniat berkumpul di rumah Putri yang kebetulan ditinggal Harun dinas keluar kota untuk beberapa hari.

Aku menceritakan semua kejadian sewaktu blind date dengan Restu. Dia menambah pengalaman blind date-ku untuk yang pertama dan terakhir dalam seumur hidup.

Oh, No! Aku tidak akan mencoba acara konyol itu lagi kalaupun harus.

"Jadi, kalian gak tukeran nomor handphone atau apa gitu?" tanya Kika.

"Enggak dan gue gak ada niat." jawabku tegas.

"Terus, lo ngomong apa waktu Nyokapnya suka ngumpulin album lagu lo?"

"Ya, gue iyain aja. Gak enak juga, kan, buat anak orang malu."

"Gue jadi penasaran orangnya gimana, sih? Harusnya lo fotoin dulu buat koleksi album di handphone lo."

Aku melemparkan bantal sofa pada Pani, meringis kesal mendengar ucapannya. Dia masih memegang perutnya yang merasa sakit akibat menertawaiku.

"Gak waras lo, Put. Tega banget ngejodohin gue sama dia. Mana badannya kayak Agung Hercules." ucapku.

Putri menepuk bahuku pelan. "Nambah pengalaman." Lalu tertawa lagi.

Kalau bukan sahabatku, aku sudah menyumpahi mereka satu-persatu.

"Hati-hati kualat ketawain gue terus."

"Sorry, deh. Abisnya gue emang gak tau kalau Restu nya begitu." balas Putri.

Aku mengangkat bahu, tak acuh. "Gak lagi ngikutin tawaran kalian." kataku.

Ketiga sahabatku mengangguk paham. Makanan dan snack yang kubeli dengan Pani sebelum kesini sudah hampir habis, meninggalkan remah-remah di meja ruang TV rumah Putri.

Rumah Putri tidak terlalu besar dibandingkan rumah lainnya yang berada dikompleks sini. Bertingkat dua namun tetap terkesan minimalis. Bagian depan hanya disiapkan taman mini dengan kolam kecil, dan carport untuk dua mobil. Setidaknya, lebih baik dibandingkan tinggal diapartemen.

"Lo gak pernah ngidam aneh-aneh selama hamil, Put?" Kika mulai bertanya, membuatku ikut tertarik.

Putri menggeleng, lalu menjawab sesudah mengunyah kentang goreng. "Enggak, malah Harun yang kadang makannya suka aneh."

Alisku bertaut. "Aneh gimana?"

"Kadang dia pengen makan siang pake sate madura. Bayangin aja, gue gak bisa buat sate. Mau cari dimana jualan sate di siang-bolong?"

Aku, Kika, dan Pani tertawa. Membayangkan apa yang diceritakan Putri benar-benar lucu. Humor kami begitu 'receh'.

"Lucu juga, ya, kalau laki lo yang ngidam."

"Wajar, kok, kata Dokternya. Gue cuma kebagian muntah-muntah aja diawal hamil."

Aku mangut-mangut, paham. Mataku jatuh pada perut Putri. Karena dia suka memakai long-dress, jadi tak terlalu menampakkan perutnya yang kian membuncit.

Setelah puas mengobrol ngalor-ngidul, Kika mengajak aku dan Pani pulang. Tania, adik kandung Putri, yang kebagian menemani kakaknya selama Harun pergi juga sudah kembali dari hang out. Kami pamit pulang, aku memilih menumpang dimobil Pani. Karena rumahnya searah dengan apartemenku.

Saat dijalan, aku baru saja akan mengecek handphoneku yang sengaja kubuat modus airplane, dan telepon dari nomor tak bernama masuk.

"Halo?"

Mistake On RopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang