Lewat dengan waktu yang ditentukan, aku sampai di ballroom hotel, tempat resepsi di selenggarakan. Begitu ramai, sampai aku tidak menemukan teman-temanku yang lain.
Dengan gaun panjang berwarna biru dongker berbentuk kemban melilit di tubuhku. Saking panjangnya, satu tanganku mengangkat rok gaun supaya tak menyeret atau terinjak.
"Yi!"
Aku menoleh keasal suara. Edgar melambaikan tangannya padaku diantara kerubungan tamu.
Aku menyusul Edgar, berjalan disampingnya. "Yang lain dimana?" tanyaku.
"Telat lo. Semuanya udah mencar."
Aku melirik jam yang melingkari pergelangan tanganku, kemudian meringis. Lewat setengah jam. "Sorry. Gue gak bawa mobil, sih."
Aku memang pergi naik taksi, agak malas menyetir dengan pakaian seperti ini.
Edgar memberiku gelasnya, katanya belum tersentuh. Namun, aku tetap tak akan meminumnya. Sementara ia pergi dengan temannya yang lain entah kemana.
Aku menghindar dari suasana ramai, melangkah ke balkon hotel untuk menghubungi Pani. Untungnya ia menjawab, dan menyuruhku tunggu agar ia bisa menghampiriku yang terlihat seperti anak ayam kehilangan induknya.
Tak lama aku menunggu Pani, sambil sesekali melihat ke ballroom hotel yang begitu sesak. Wajar, acara resepsi ini punya anak dari agensiku. Pasti ada 1000 undangan disebarkan atau mungkin lebih.
Kalau pun aku pengantinnya, aku gak akan sanggup meladenin tamu sebanyak ini.
"Hei," Pani menyapa, kemudian mencium kedua pipiku. "Ke sana, yuk. Gabung sama yang lain." Pani menunjuk ke kerubunan tamu.
Aku mengikuti arah yang ditunjuk Pani. "Rame." komentarku. "Lo aja, deh. Gue lagi gak mood."
Pani mengerutkan alis. "Kenapa? Biasanya juga lo mau diajak kenalan sama yang lain."
Aku tertawa pahit. "Gue lagi gak 'biasanya', nih." balasku sinis, kemudian menompang tangan di antara jeruji balkon.
Pani mengikuti, mengamati raut wajahku yang mudah dibaca. "Tell me, what happen with you?"
"Nothing."
"C'mon, Yi." Pani mengelus bahuku, membuatku menoleh geli. "Lo butuh asupan laki-laki."
"Gila lo, Pan." rutukku.
Pani tertawa renyah, kemudian menyandarkan kepala dibahuku. See, dia mulai bersikap bagai wanita kurang belaian.
"Oke, kalau lo mau disini. Gue temenin."
Aku mendelik. "Tumben. Bukan lo harusnya yang butuh asupan batangan?"
Dia menggeleng dibahuku. "Mau temenin sahabat gue yang lagi haus cinta."
Otomatis, aku mencubit pipi Pani. Dia menarik diri, mengelus hasil kejahatanku.
Alasan mengapa aku lebih suka bercerita dengan Pani, bukan pemilih atau memandingkan dengan kedua sahabatku yang lain. Dia sama sepertiku, like a naughty. Namun bedanya Pani lebih bisa menahan diri ketimbang aku yang lost control.
"Kedalam, yuk. Didalam ada seblak." ajak Pani lagi, setelah kami hening sesaat.
Kali ini aku tidak bisa menolak. Sialan! Pani tahu bagaimana ia memancingku dengan cara makanan yang kusukai.
Dia menemani ke meja prasmanan yang terhidang banyak makanan lokal. Mulai dari mie pangsit sampai martabak telur sekalipun. Tidak salah lagi, yang memiliki acara saja memakai pakaian adat jawa.
Aku sampai takjub, kepunyaan agensiku itu benar-benar cinta budayanya sendiri.
Setelah mengambil makanan, aku dan Pani bergabung dengan Mika dan yang lainnya. Tak kusangka, ternyata mereka menunggu kedatanganku yang sekiranya tak akan datang.
"Lumayan kalo lo datang, Yi. Banyak bujangan disini. Siapa tau ada yang nyangkut." celetuk Gilang.
Aku menyambit tisu bekas pada Gilang. "Sembarangan lo. Gue gak sampe segitunya kesepian."
Gilang bergumam, mengulum senyum agar tidak tergelak.
"Mika kali, tuh. Bukannya baru putus sama anak PTP itu?" Pani ikut nimbrung.
Aku melihat Mika yang duduk diantaraku dan Prita. Dia menunjukkan senyuman hambar.
"Gue emang putus sama dia. Tapi..." Dia mengulurkan tangan pada kami, menunjukkan cincin putih di jari manisnya.
"Wah... Anjir! Gue keduluan!"
Pani dan Prita berseru. Sementara aku tersenyum lebar, dengan perasaan tercengang.
Kami mengucapkan selamat. Lalu teman-temanku yang lain bertanya kapan pacar Mika melamarnya. Kapan mereka akan menikah. Dan segala macam tetekbengek.
Lagi. Satu orang melepas masa lajangnya dimasa muda.
===
Hampir jam 9. Para tamu masih ramai. Dan aku belum berniat pulang, begitu pun Pani dan yang lainnya. Mereka sudah turun kelantai 5, tepat hotel ini menyediakan Bar-nya. Aku tidak ikut, memilih di ballroom, bercengkrama dengan Mbak Tika dan manager lain.
"Kita perlu model yang gak usah kulitnya putih, deh. Yang penting bersih aja."
"Yang mukanya cantik juga aku kurang. Muka unik, sih. Atau pipinya tirus."
Aku hanya diam didepan para pemberi argumen di hadapanku, cukup menjadi pendengar yang setia.
Mbak Tika perkenan untuk ke toilet, aku ikut. Tidak tahan juga berdiri lama-lama diantara kerubungan tamu.
"Kamu gak pulang, Yi?" tanya Mbak Tika saat aku menyusul disampingnya.
"Mau nyusul Pani dulu, Mbak. Rencana mau nebeng." jelasku.
"Hmm, pantes."
Aku nyengir.
"Duluan ya, Yi."
Aku mengangguk, berjalan lurus ke arah lift, lalu menekan tombol kebawah. Beberapa saat aku menunggu, pintu lift terbuka.
Aku yang hendak masuk nyaris terkejut melihat bayangan seseorang di sudut lift.
Demi Tuhan...
===
Seperti biasa, makasih buat yg masih baca (entah ada atau ga) wkwk.
See you next time!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake On Rope
RomanceSeseorang pasti memiliki ikatan tali masing-masing. Entah kapan tali itu akan mengikat, yang pasti keduanya akan saling cocok. Tidak denganku, tali-ku salah. Hingga menjadi tali kekang. [21+] nb: karena pemberitahuan wattpad (mulai dr tanggal 19 Sep...