#4

4.6K 504 17
                                    

Gadis itu memandang sebuah pintu besar di hadapannya. Menatap ragu pintu besar tersebut dengan tatapan bingungnya yang bertuliskan President Commissioner. Ia berdiri tanpa melakukan apapun yang berarti. Mengetuk pintu pun tak ia lakukan. Gadis itu menghembuskan nafasnya kasar dan menyatukan jari-jarinya hingga terkepal. Berniat mengetuk pintu merupakan jalan terbaik di bandingkan ia harus berdiam diri disini tak melakukan apapun hingga malam tiba. Jantungnya berdegup dengan kencang tanpa ampun. Hey! Bahkan ia tak benar-benar akan melamar pekerjaan. Entahlah. Ia tak tahu kenapa jantungnya bisa seperti ini. Ia merasakan sebuah firasat buruk akan datang menghampirinya cepet atau lambat. Sesuatu yang tak ingin gadis itu harapkan sama sekali kedatangannya.

Ia memejamkan matanya dan mulai melayangkan kepalan tangannya menuju sebuah pintu besar berwarna cokelat tersebut. Kenapa hanya untuk mengetuk pintu saja sesulit ini?

Shin Minhyo terlonjak. Gadis itu mematung di tempatnya dengan kepalan tangan yang masih terapung di udara dengan bebas. Kepalan tangan yang tadinya ia tujukan pada badan pintu kini beralih pada wajah lelaki yang tengah memasang wajah mautnya. Jangan salahkan gadis itu jika kepalan tangannya mengenai wajah lelaki itu. Salahkan saja pria itu karena telah membuka pintu terlebih dahulu.

Sungguh. Minhyo ingin meminta maaf atas perbuatannya tadi. Namun, lidahnya seolah kaku dan tenggorokannya seolah tertahan oleh beban puluhan ton. Ia tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Hanya memandang lelaki di hadapannya dengan wajah terkejut dan merasa bersalah. Bukankah itu bukan sepenuhnya kesalahannya? Tetapi tetap saja ia harus meminta maaf meskipun itu ia lakukan dalam ketidak sengajaan.

"Siapa kau?" Lelaki itu mengeluarkan suaranya. Sementara Minhyo hanya dapat berdiri kaku dan menurunkan tangannya yang terapung dengan cepat ke samping tubuhnya. Minhyo merasakan hawa gelap mengelilingi dirinya. Lelaki itu tampak sedang menahan marah. Ya. Gadis itu mengetahuinya karena terlihat jelas guratan kemarahan di wajahnya. Minhyo hanya dapat menundukan wajahnya dalam-dalam. Berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk memenuhi pasokan paru-parunya yang seakan menipis. Ia tak dapat bernafas dengan baik. Menghirup nafas pun terasa begitu sulit baginya. Ia tak suka suasana mencekam seperti ini. Dengan keteguhan hatinya ia mulai memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya. Ia tahu ia sedang berbicara dengan lelaki yang di temuinya di bar beberapa waktu lalu. Lelaki yang ia sebut dengan nama Oh Sehun. Apakah benar ia adalah lelaki yang tak sengaja ia temui di bar? Ia begitu mengharapkan tidak bila itu terjadi.

"Ada apa ini?" Ucap sebuah suara yang di yakini adalah suara seorang gadis dari arah belakang tubuh lelaki jangkung tersebut. Gadis itu menyela diantara tengah-tengah Sehun maupun Minhyo. Sementara Minhyo hanya dapat mematung di tempatnya dengan hati tenang bukan main. Ia terselamatkan. Lee Hyejin kembali menyelamatkan nyawanya untuk yang kedua kalinya. Lee Hyejin menatap bergantian Sehun maupun Minhyo. Gadis itu tersenyum ramah begitu tahu jika yang sedari tadi berdiri di hadapan Sehun adalah Shin Minhyo.

"Hyo-ya. Kenapa tidak memberitahuku jika sudah sampai disini?" Lee Hyejin kini berdiri berhadapan dengan Minhyo. Menyela diantara kedua orang yang tengah berseteru dalam diam tersebut. Membelakangi Sehun yang kini tengah memasang wajah kesal dan masamnya bukan main. Ia merasa di abaikan dan tidak di perdulikan kehadirannya disini. Ia seolah patung yang hanya diam tak bergerak. Bahkan mengeluarkan sepatah katapun.

"Ayo masuk." Lee Hyejin merangkul lengan Minhyo lalu mengiringnya memasuki sebuah ruangan yang cukup luas dan elegan. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tersebut. Buku-buku yang tertata dengan rapih,interior yang tertata dengan sebaik-baiknya di setiap sudut kantor, ruangan yang di dominasi oleh warna putih dan cokelat semakin menambah kemewahan kantor seorang President Commissioner. Jangan lupakan soal harumnya ruangan ini ketika ia menginjakan kaki untuk yang pertama kalinya. Harum vanilla menyeruak memasuki indra penciumannya. Gadis itu membayangkan ia seperti berada di sebuah toko roti yang menyediakan berbagai varian rasa.

Bad Mommy?! [ON HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang