****
Megan ingin sekali menutup kedua telinganya rapat-rapat setelah sekian lama mendengar dari Laura, manajernya. Yang benar saja, ia baru saja sampai di L.A dua jam yang lalu dan kini ia sudah harus duduk di kursi sebuah studio foto. Seharusnya ia butuh istirahat karena ia baru saja melewati setengah jam sesi foto yang cukup melelahkan.
"Kau hampir membuat karirmu hancur!" Laura melipat kedua tangannya dan menatap Megan dengan tatapan tajam.
Megan menarik nafas pelan. "Baiklah. Maaf," ucap Megan sambil menyandarkan kepalanya pada kursi empuk yang ia duduki. Megan meluruskan kakinya di atas meja dan memijit-mijit pelipisnya pelan. Ia masih agak pusing dengan rentetan kejadian kemarin malam.
"Untung saja media tidak menyebarkan foto-foto memalukanmu yang tengah mabuk itu." Laura menekankan suaranya karena merasa Megan tak terlalu memperhatikannya sejak tadi.
"Ah, ya. Terserahlah." Megan mengisbaskan tangannya ke udara seakan jengah dengan semua nasehat Laura yang semakin membuatnya terasa berdenyut.
Baru saja Laura ingin bicara namun Megan sudah bangkit dari kursinya duluan dan berjalan dengan langkah cepat meninggalkan Laura. Megan bahkan tidak peduli dengan Laura yang masih terus menyerukan namanya dengan teriakan suara cemprengnya itu.
Megan hanya ingin pergi untuk beberapa saat seraya menangkan dirinya. Entahlah, rasa sakit di hatinya masih terus saja terasa ketika mengingat kejadian kemarin. Ia masih belum percaya Justin memperlakukannya sekasar itu. Itu tidak mungkin. Itu seperti mimpi buruk. Itu wajar, karena jika boleh jujur, ini adalah kali pertama Megan mengalami sakit hati yang luar biasa. Ya, dengan kata lain ini adalah kali pertama ia bisa benar-benar mencintai seseorang dengan begitu ambisius. Sebelumnya ia tidak pernah seperti ini. Baiklah, mungkin Megan memang terlalu welcome pada setiap lelaki yang ia kenal. Tapi itu adalah sebagian dari pekerjaannya bukan? Ia adalah seorang public figure yang takkan pernah bisa lepas dari interaksi dengan orang-orang. Seharusnya Justin paham akan hal itu, seharusnya Justin lebih bisa mengerti kondisinya.
Megan berjalan menuju keluar pintu studio fotonya. Ia berjalan membuka pintu kaca yang super besar itu dan berjalan meninggalkan studio foto itu. Ia terus memegangi kepalanya yang semakin lama semakin sakit seiring dengan berputarnya ingatan kejadian semalam diotaknnya. Ia terus berjalan membelah kerumunan beberapa orang yang ada di pinggir jalan dengan langkah yang tak teratur.
Dan tanpa Megan sadari seseorang dari arah yang berlawanan juga berjalan dengan cepat dan mendadak menabrak tubuhnya hingga Megan jatuh tersunggkur di atas aspal. Megan meringis kesakitan karena ia merasakan lututnya seperti tergores. Ah, sial. Padahal kakinya adalah asset berharga yang dimilikinya dan ia tidak bisa membiarkan kaki mulusnya itu lecet sedikitpun. Megan lalu bangkit dari posisi jatuhnya dan mengambil ancang-ancang untuk memaki si penambrak yang telah membuatnya jatuh.
"DASAR KAU TIDAK PUNYA----MA....?" Emosi Megan mendadak luntur karena terganti dengan keterkejutan. "Ryan?"
"Megan?" Pria itu mengerutkan keningnya sesaat. "Kau tidak apa apa?" tanya Ryan menatapi tubuh Megan atas ke bawah.
"Lututku berdarah. Dan itu karena kau!" bentak Megan sambil menahan rasa perih yang berasal lututnya.
Ryan malah tertawa ketika melihat raut wajah Megan. "Astaga. Pantas saja Justin memutuskanmu." Ryan menyambung tawanya lagi, sebuah tawa yang berhasil membuat Megan mengertukan keningnya.
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak mengerti? Astaga. Maksudku adalah, kau.. ya, kau adalah gadis yang sangat manja." Ryan mengankat kedua bahunya tidak peduli.