***
***
"Kau haus?" tanya seorang gadis berambut lurus itu pada Daniel. Ia melemparkan segelas botol minuman pada Daniel ketika melihat Daniel mengangguk.
"Lemparan yang bagus, Emma," ia tersenyum pada Emma lalu buru-buru membuka botol yang ada di tangannya dan mengeguk isinya.
Emma menaikan kedua bahunya samar lalu duduk di samping Daniel. Emma menarik nafas pelan lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi abu-abu empuk miliknya. "Emrh, jadi, apa kasus apa yang kau selidiki kali ini?" tanya Emma langsung ke inti, tanpa basa-basi, karena pada dasarnya gadis itu sudah tahu bahwa setiap kali Daniel mengampirinya, itu pasti ada hubungannya dengan kasus.
Tidak hanya itu, selain karena Emma memiliki banyak tempat tinggal di Amerika, kemampuan berfikir yang dimiliki Emma selalu dapat membantu Daniel dalam memecahkan segala misi penyelidikannya.
Daniel meletakkan botolnya di atas meja lalu melipat kedua tangannya."Sebuah kasus yang cukup rumit." ucap Daniel datar."Jika kuceritakan kau pasti tertarik," imbuhnya sembari menyeringai.
Aura penasaran Emma langsung terasa seketika. Daniel bisa merasakannya, merasakan bahwa gadis itu akan sangat penasaraan. Ia dan Emma bisa dibilang merupakan sepasang partner yang cocok. Mereka sama-sama memiliki kadar keingintahuan yang sama dalam memecahkan suatu perkara. Sayangnya, Emma tak suka menjadi detektif, ia bukanlah gadis yang suka berpergian ke luar kota. Apalagi L.A, meskipun ia tidak dibesarkan di Amerika
"Mungkin aku bisa membantumu setelah kita melanjutakan perjalanan ke L.A setelah ini." Emma melirik jam yang melingkar ditangannya. Saat ini mereka masih berada di New York, tepatnya disalah satu apartemen pribadi milik Emma. Apartemen yang hanya ia gunakan jika mendapat tugas di NY, namun tetap saja, L.A adalah kota tempat ia menetap.
Bukannya langsung setuju, Daniel malah menggeleng menolak."Tidak untuk hari ini," ucapnya datar.Ia menghembuskan nafasnya lalu berdiri dari duduknya.
"Kenapa?" tanya Emma penuh selidik.
Pertanyaan itu dibalas Daniel dengan senyuman manis. "Karena aku masih ada janji makan malam dengan seseorang." Daniel diam-diam membayangkan semuanya, membayangkan sosok gadis yang begitu cantik, sosok gadis yang sebenarnya sudah lama ia kagumi, sosok gadis yang selalu berlagak angkuh namun sebenarnya ia peduli. Ya, Bellany Ricardo.
*****
Segelas anggur dan beberapa makanan khas italia itu tersusun rapi di atas sebuah meja bundar yang dipesan oleh Megan. Ada tiga buah lilin yang menyala di depannya dan beberapa alat makan yang belum tersentuh sama sekali. Entah mengapa, malam ini terasa begitu aneh karena ini adalah pertama kalinya seorang Megan memilih untuk makan malam sendirian. Padahal jauh di luar sana banyak sekali pria tampan kaya raya yang menunggu untuk makan malam bersamanya.
Entahlah, semenjak ia putus dengan Justin, semuanya mendadak hambar. Hidupnya seolah berubah.Ia seperti kehilangan semangat hidup secara drastis. Ia mendadak menjadi sosok gadis aneh yang suka menyendiri dan menenangkan pikiran. Ia tak pernah menyangka bahwa berakhirnya hubungannya dengan Justin akan berdampak sebesar ini.
Megan mendesah pelan, ia menatap lurus pada cahaya lilin yang terpancar di depannya. Samar-samar ia teringat tentang perjanjiannya dengan Aldoft yang ingin mencelakaan Hellena. Entah mengapa Megan sedikit ragu dengan keputusannya sendiri, hati kecilnya seolah memaki diirnya atas keputusan liciknya itu.Ia benci Hellena, itu jelas. Namun entah mengapa, ada sesuatu yang aneh dalam dirinya yang seolah menahan agar tidak bertindak sejahat itu. Megan mengigit bibir bawahnya, tiba-tiba saja dipikirannya ia membayangkan wajah Ryan yang begitu tenang. Dalam hati Megan selalu bertanya.Kenapa Ryan bisa terlihat begitu tegar?Kenapa Ryan tidak dendam pada Justin?Kenapa Ryan tidak marah ketika Hellena direbut oleh Justin?