[19] Memories

5.4K 441 3
                                    

2 tahun lalu...

"SUDAH SAYA BILANG SAYA MENOLAK TAWARAN ITU!"

Suara bak bariton itu menggema lagi ke sepenjuru rumah. Adrian yang tengah asyik mengerjakan latihan soal ty out di kamar, terpaksa berhenti dan memasang headphone di lingkaran lehernya. Rutinitas ini selalu ia lakukan mengingat sang ayah yang bekerja sebagai direktur perusahaan.

Tak tanggung-tanggung, Raka, Ferrel, dan Ici juga mendapatkan imbas yang sama. Alhasil, sang ibu-lah yang lagi-lagi harus menenangkan ayah dari 4 bersaudara tersebut.

Tut~

Telepon dimatikan dan sang ayah melangkah frustasi menuju sofa terdekat. Rambutnya acak-acakan dan mulutnya berkomat-kamit mengumpat kesal. Tak ada yang berani mengganggu, apalagi sekedar mendekat. Bahkan sang ibu yang tengah duduk disampingnya pun terpaksa beranjak pergi menuruti permintaan sang suami.

"Bang, ayah ada masalah lagi ya?" tanya Ici pada Raka dan Ferrel yang tengah mengintip di anak tangga. Umur mereka terpaut satu tahun.

"Entahlah Ci, abang juga nggak ngerti kenapa ayah marah-marah terus," jawab Raka lalu berlari ke lantai atas. Disusul juga Ferrel dengan tatapan murung.

Ici yang kala itu masih belum genap berusia 14 tahun, benar-benar tak paham akan masalah yang menimpa keluarganya saat ini. Apalagi abang tertuanya selalu bungkam, tiap kali Ici bertanya soal ayah dan ibu. Seakan laki-laki itu tengah menyembunyikan sesuatu darinya.

Kapan sih keluargaku bisa harmonis kayak dulu lagi? Ici menggerutu lalu melangkah naik menuju kamarnya di lantai atas.

Disisi lain, Adrian sedang menguping pembicaraan sang ayah melalui celah kamarnya yang terbuka sedikit. Untung saja kamar Adrian berada di lantai bawah, alhasil dirinya tak perlu lagi repot-repot naik-turun tangga berulang kali. Apalagi untuk sekedar menguping pembicaraan orang di ruang tamu, Adrian tahu benar itu.

"Bukan dia," Adrian mencoret sebuah nama di buku notes kecil bersampul anime miliknya. Entah apa yang dilakukan cowok itu, namun setiap kertas notesnya terisi penuh oleh ratusan nama yang sudah ter-list rapi.

Sejenak Adrian berpikir. Headphone yang tadinya terpasang kini menggantung di lehernya lagi. Seolah benda itu hanya menjadi penyamaran saja, agar tak ada satupun yang curiga.

"Kalau bukan nomer lima berarti ... "

Adrian segera berlari menuju ambang pintu. Diintipnya keadaan ruang tamu yang sudah sepi senyap. Tak ada siapapun disana, sepertinya sang ayah sedang keluar mencari udara malam.

Oke, semoga aja dugaan gue salah, batin Adrian lalu melangkah mengendap-endap menuju ruang tamu.

Nampak ponsel ayahnya tertinggal di bantalan sofa. Secepat kilat Adrian merebut dan mengecek riwayat panggilan.

Kosong.

Pasti udah dihapus sama ayah, pikir Adrian tanpa berpaling dari layar ponsel. Tangannya masih sibuk meng-scroll layar, berharap ada petunjuk yang tertinggal.

Adrian menyerah. 10 menit lamanya ia mengubrak-abrik isi ponsel sang ayah namun SMS, kontak, panggilan, semuanya bersih tak tersisa. Pasti ada sesuatu dibalik semua ini.

Kriiiiing

Tiba-tiba ponsel yang dipegang Adrian berbunyi. Tanpa basa-basi ia langsung mengangkatnya.

Tut~

"Selamat malam Pak Wasesa! Soal tawaran yang saya ajukan tadi pagi, saya hanya ingin menyatakan bahwa seandainya jika bapak menolak tawaran saya, maka konsekuensi berat akan ditanggung perusahaan bapak. Karena tawaran saya ini menentukan persentase saham pada perusahaan yang bapak kelola. Jadi, mohon dipikir secara matang-matang Pak. Selamat malam!"

Panggilan terputus dan layar ponsel berkedip mati. Sejenak Adrian terperangah memandangi nomor yang tertera di layar ponsel. Sungguh, perang sudah dimulai.

"Oh ... ternyata Om sudah memulai perang duluan toh. Oke, Adrian cuma perlu pemanasan dulu kok," gumam Adrian lalu beranjak pergi usai meletakkan ponsel sang ayah diatas sofa.

My Brothers, My Bodyguard ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang