[22] Tear

5.2K 402 12
                                    

"Ci ... Bang Raka boleh ngomong sebentar gak ke kamu?"

Tiga hari sudah Ici mengurung dirinya di dalam kamar. Tanpa mau diajak bicara, apalagi sekedar membukakan pintu untuk makan malam. Ici berubah semenjak kemarahan Adrian yang meledak-ledak dan terungkapnya rahasia keluarganya oleh Raka dan Ferrel.

Tak ada jawaban dari Ici. Kamarnya terkunci rapat tanpa celah sedikitpun. Entah apakah suara Raka tadi terdengar oleh Ici.

"Gue bilang juga apa," Raka berbalik memandang Ferrel, "gara-gara elu sih pake ngomong ke Ici segala soal kematian ayah. Jadinya begini kan?" cerocos Raka lalu berpaling menuruni tangga.

Gue lagi yang disalahin, batin Ferrel menghela kesal, merutuki nasibnya sebagai seorang kakak yang selalu perhatian tapi diacuhkan.

Sup tomat yang seharusnya untuk Ici kini mulai dingin di tangan Ferrel. Jujur saja, Ferrel sangat khawatir dengan keadaan Ici nantinya, bila selama 3 hari gadis itu tak mau keluar dari kamar hanya untuk menyantap makanan sekalipun.

Tok Tok

"Ci ... tentang yang kemaren Bang Ferrel minta maaf, abang tau abang salah. Tapi, Bang Ferrel cuma pengen Ici keluar dan makan sama abang lagi Rasanya sepi banget kalo gak ada Ici. Masa Ici tega ngebiarin abang makan sama kucing sih," Ferrel mulai cemberut, bibirnya menempel di lubang kunci sambil bersandar pada kusen pintu. "Soal Bang Adrian ... Bang Adrian belum pulang sejak kemaren Ci"

Tak ada yang menyahut.

Tok Tok

"Ci ..."

Ferrel menyerah, tubuhnya bangkit lalu berjalan lunglai menuruni anak tangga. Usahanya tak berhasil kali ini.

Mungkin Ici sudah tidur, pikirnya berberat hati.

Namun disisi lain, seorang gadis tengah sesenggukkan dalam kegelapan. Meringkuk diujung kasur sambil meremas secarik foto buram. Tetes demi tetes air matanya mengalir membasahi pipi, jatuh terserap kain seprai.

"...a-ayah"

Kalimatnya tak terucap sempurna, lidahnya kelu, menahan seluruh penderitaan ini sendirian. Ici sungguh tak sanggup lagi, apa yang didengarnya barusan justru membuat hatinya kian bertambah sakit. Ayah, bunda, dan bang Adrian. Semua ini karena Ici. Andai saja waktu itu Ici tak mengajak untuk pergi piknik, mungkin hari ini Ici masih bisa merasakan pelukan hangat seorang ibu.

ABANG MINTA MULAI SEKARANG KAMU JAUHI LAKI-LAKI BRENGSEK ITU!

"A-Arkan ... "

Ici menunduk lemas. Kalimat itu selalu terngiang-ngiang di kepalanya, lagi. Tertancap bak paku yang bisa diungkit sewaktu-waktu. Butuh waktu lama bagi Ici tuk bisa mengelak dari kenyataan pahit ini. Atau bahkan mustahil.

"Bunda..."

Diusapnya perlahan foto sang bunda yang tengah tersenyum dalam sebuah acara reuni 2 tahun lalu.

"...Ici harus gimana Bun?" Ici terisak pilu, lalu mendekap erat foto sang ibunda hingga tanpa sadar tubuhnya ambruk ke samping kiri.

My Brothers, My Bodyguard ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang