[18] Conflict

5.7K 467 9
                                    

Malam pun menjelang. Tak terasa 12 jam beraktivitas dalam kesibukan masing-masing, tubuh sudah mengeluh minta rehat. Bahkan untuk menopang berat tubuh saja, Arkan terpaksa harus bertopang pada setir motor.

Apalagi Ici yang diboncengnya juga terlihat mulai mengantuk berat. Untung saja gadis itu mau berpegangan pada ujung tas Arkan yang ia selempangkan di depan dada. Jikalau tidak, habis Arkan bonyok oleh abang Ici.

Lo emang cewek yang unik Ci, batin Arkan. Tak terasa senyuman kecil terulas diwajahnya.

10 menit Arkan mengarungi jalanan kota, hingga tak terasa plang sudut jalan menunjukkan blok rumah Ici berada. Begitu sepi, hanya berhiaskan penerangan lampu jalan yang remang-remang.

BRUM

Motor berhenti tepat di depan gerbang sebuah rumah putih berlantai dua. Tak ada security atau semacamnya. Hanya pos satpam di ujung komplek dan beberapa cctv yang terpasang di sudut rumah. Memang dunia sudah berubah di zaman digital ini.

"Ci, bangun" Arkan menepuk bahu Ici pelan. "Udah sampe nih" bisiknya membuat Ici terbangun dan mengerang pelan.

Cahaya lampu yang menyorot begitu terang membuat Ici harus mengucek-ucek matanya berulang kali. Sudah sampai rumah ternyata. Jujur saja, hawa sejuk malam ini membuat Ici mengantuk dan terpaksa terlelap di sandaran Arkan selama perjalanan. Ia tak sadar sejak kapan dan bagaimana dirinya bisa ketiduran seperti itu. Ici sangat malu.

"Oh, emm ... I-Iya. Sorry tadi gue ketiduran di motor. Gue gak bermaksud--"

"Sante aja kali," Arkan melepas helmnya "gak cuman elo kok."

Syukurlah, batin Ici lega. Sedari tadi pipi gadis itu memerah, menahan malu.

Arkan justru terkekeh, lalu melirik jam tangan di pergelangannya. "Udah mau jam 7 nih, gue balik dulu ya?" Arkan memasang helmnya lagi.

"Gak mau mampir dulu?" tawar Ici namun dibalas gelengan pelan oleh Arkan.

"Next time aja," sahut Arkan lalu meng-gas motor ninjanya.

"Arkan,"

Ici sebenarnya tak berniat untuk memanggil Arkan, namun melihat lelaki itu hendak pergi, mulutnya tiba-tiba memanggil nama lelaki itu.

Spontan Arkan menoleh, "Ya?"

"Makasih" Ici langsung tersipu malu.

Arkan hanya mengangguk. Motornya pun melaju kencang dan menyisakan kepulan asap putih di hadapan Ici. Ici begitu senang, karena malam ini ia merasakan jatuh cinta tuk kedua kalinya. Mungkin, inilah langkah awal Ici untuk melupakan Alvaro.

💣💣💣

"Lho? Bang Adrian belum dateng?"

Ici terheran, biasanya ketiga abangnya selalu menyambut Ici setiap pulang les atau eskul. Tapi kini, hanya ada Bang Raka dan Bang Ferrel yang duduk di sofa depan. Itupun dengan tatapan murung.

Apa bang Adrian pulang telat ya gara-gara meeting tadi? pikir Ici menebak-nebak, seolah sms bang Adrian tadi sore adalah penyebab semua ini.

Tapi, ada yang berbeda kali ini. Tak seperti biasanya bang Ferrel dan bang Raka duduk diam sambil murung seakan tengah menyembunyikan sesuatu.

"Bang! Abang kenapa sih?!" Ici menggoyang-goyangkan bahu Raka. Tapi lelaki itu diam tak menggubris. Pandangannya kosong menatap depan. Sama seperti Ferrel.

Ici mulai cemas. Dia takut telah terjadi apa-apa pada ketiga abangnya. Apa karena biaya listrik? Atau jangan-jangan--

BRAK

Pintu terbanting keras. Ici terkejut dan langsung menoleh.

BANG ADRIAN!, pekik Ici menjerit dalam hati.

Ia tak menduga abangnya datang dengan tampilan seperti itu. Kancing terbuka dua, jas hitam kerja yang ia genggam di sebelah kiri, dan beberapa luka lebam di sekitar wajahnya.

"B-Bang Adrian kena--"

"CUKUP OMONG KOSONGNYA ICI!" Adrian menyentak kasar, "JELASIN KE ABANG! SIAPA LAKI-LAKI ITU?!"

Ici tak paham. Kenapa abangnya tiba-tiba segalak ini pada dirinya. Padahal-

"JAWAB ICI!!"

"D-Dia ... aku ..."

PLAK

Tamparan kasar mendarat di pipi kiri Ici. Gadis itu kaget bukan kepalang.

"ABANG MINTA MULAI SEKARANG KAMU JAUHI LAKI-LAKI BRENGSEK ITU! MENGERTI?!"

Adrian pun melangkah meninggalkan Ici dengan tatapan berkabut amarah. Raka dan Ferrel hanya diam tak mau ikut campur. Ici sendiri-lah yang harus menyelesaikan masalah ini.

"Hiks, Hiks"

Bulir-bulir air mata meluncur turun membasahi pipi. Ici masih menunduk diam. Dadanya begitu sesak dan pikirannya berkecamuk. Rasa panas masih menjalar di sekitar wajahnya. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa bang Adrian begitu marah padanya. Dan, bagaimana bisa Arkan terlibat dalam persoalan ini.

Ici terisak begitu pilu. Membuat dua abangnya tak tega dan spontan memeluk tubuh Ici bersamaan. Bulir demi bulir air mata telah membasahi pipi Ici, yang membuat Ferrel harus mengusapnya perlahan. Raka tau, kali ini dia takkan bisa membantu Ici. Hanya Ici sendiri yang mampu.

Adrian benar, mungkin sekaranglah waktu yang tepat untuk memberitahu Ici tentang segalanya.

My Brothers, My Bodyguard ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang