[28] Sacrifice (bonus part #1)

4.8K 334 1
                                    

Usai sang abang marah besar, Cecil memutuskan untuk mencari udara segar sebentar. 1 jam dengan omelan-omelan panas Bang Rey membuat telinganya gatal dan ingin cepat-cepat pulang. Namun, bak tawanan perang, Cecil takkan bisa lolos dari sini dengan mudah.

"Fiuh..."

Cecil menghela berat. Lorong lantai 5 ini begitu sepi dan hening, padahal jam di tangannya masih menunjukkan pukul 8 malam.

TING

Pintu lift di ujung lorong terbuka. Cecil terkejut saat melihat Alvaro berada dalam gerombolan 3 orang lelaki yang tengah berjalan menuju kearahnya. Sesegera mungkin Cecil berlari kearah pot di depannya dan meringkuk bersembunyi. Ia tak mau keberadaannya di rumah sakit ini diketahui Alvaro.

Ketiganya kemudian berbelok kearah sebuah kamar bernomor 13. Melihat hal itu, Cecil tak terkejut, ia tahu bahwa Alvaro memang menyukai Ici sejak gadis itu datang ke sekolahnya. Semenjak pertemuan diantara keduanya, Alvaro mulai berpaling dari kehidupan Cecil. Meninggalkan sebekas luka kecil yang suatu saat dapat terungkit dan menghancurkan seluruh kehidupannya.

"Lho, dek... ngapain duduk disitu?"

Suara sang mama mengagetkan Cecil dari lamunannya. Wanita itu akhirnya kembali juga setelah berpamitan untuk membeli sesuatu dari supermarket.

"Ehmm..." Cecil kebingungan. Apa yang harus ia katakan pada mamanya?

"T-Tadi ada kecoa di kamar tidur bang Rey, Ma. Cecil kan takut kecoa, jadinya... Cecil lari deh keluar, sembunyi" ujarnya lalu meringis kikuk sebelum akhirnya bangkit berdiri dan berpura-pura mengibas-ngibaskan celananya.

Mama hanya menggeleng kecil lalu menggandeng lengan Cecil posesif.

"Anak mama udah gede gini kok masih takut sama kecoa, sih" ejek sang mama sambil memeluk pundak Cecil.

Sesaat Cecil terkekeh, namun itu tak bertahan lama. Wajahnya lagi-lagi berpaling menoleh kearah kamar tempat Ici dirawat. Bisa dibilang, Cecil kangen Alvaro.

"Oh ya ma.." Cecil mendongak menatap mata Sang Mama "bang Rey pulang kapan ya?"

Sang Mama hanya menggeleng kecil "Mama belum tau, tapi kata dokter keadaannya udah mendingan. Jadi, abangmu boleh pulang besok"

Mendengar hal itu, Cecil tersenyum lega. Abangnya bakal pulang besok. Jadi, nggak bakalan ada yang nyuruh-nyuruh dirinya untuk bolak-balik rumah sakit lagi. Namun begitu, Cecil masih merasakan kesedihan dalam hatinya. Seakan... ada sesuatu yang hilang.

"Through it, and you will get it" gumamnya penuh semangat.

*****

Malam ini Cecil benar-benar terjaga. Sejak dua jam yang lalu dirinya belum terlelap juga. Entah kenapa Cecil merasa ada suatu ketakutan yang menyelubungi pikirannya semenjak tadi. Ia mulai berpikir yang tidak-tidak. Kejadian di rumah sakit tadi membuatnya susah tidur. Tatapan sosok itu betul-betul mengancam batinnya.

TRING

Notif hp Cecil berbunyi. Ada pesan Line masuk.

"Nih kampret ngapain sih masih berkicau malem-malem begini" gerutu Cecil lalu membalas pesan dari grup se-genk nya "Three Mochi" itu.

5 detik kemudian, Cecil sudah berada dalam posisinya semula, terlentang dengan selimut menyelimuti hingga leher. Tatapannya terus saja terfokus pada langit-langit bintang kamarnya.

TRING

Lagi-lagi, bunyi notif itu mengagetkan Cecil. Segera ia menyabet ponselnya dengan penuh amarah.

"Ganggu ba--"

Notif itu ternyata bukanlah dari Line atau grup sekolahnya. Melainkan, pesan masuk dari nomer asing.

Tangan Cecil mulai gemetaran dan tubuhnya menggigil tiba-tiba. Tak biasanya ia bertingkah seperti ini hanya karena sms nyasar. 

Cecil pun menekan sms itu dan membacanya. Jantungnya seketika berdegup kencang, darahnya berdesir cukup hebat, jari-jarinya gemetaran dan menjatuhkan ponsel itu kelantai.

"N-Nggak m-mungkin..."

Cecil menggeleng takut. Bunyi pesan itu sanggup tuk membuatnya pingsan selama berhari-hari.

"N-Nggak... m-mungkin..."

Cecil mengerjapkan matanya kuat-kuat. Rasa kantuk dan takut langsung menyergap dirinya begitu cepat dan membuatnya tak sadarkan diri seketika. Meninggalkan ponsel yang sedari tadi berdering dan menampilkan sebuah pesan masuk.

SMA CAKRAWALA. CECILIA XEROVA. XI IPS 2. PUKUL 2 SIANG. DEPAN SEKOLAH.

*****

Bel sekolah berdentang cukup nyaring. Sebagian siswa yang memiliki ambisi cukup kuat segera meninggalkan kelas dan berlarian menuju halaman depan. Yang lainnya cukup berjalan santai, berpikir bahwa tak ada gunanya bersemangat di hari Selasa ini. Hari Rabu telah menanti esok, dengan beberapa tugas rumah sebagai pelengkapnya. Tak ada yang istimewa, begitu batin Alvaro.

Hari ini, ia berniat untuk menjenguk Ici lagi. Kata bang Adrian kemarin, Ici bisa pulang hari ini. Betapa bahagianya Alvaro mendengar berita tersebut.

Disisi lain, Arkan masih duduk termenung di bangku kelasnya. Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Namun, ada sesuatu hal yang membuatnya harus mengosongkan pikirannya dan tak memerdulikan sekitar.

Kalau kau tak bisa menghentikannya, kami semua juga takkan bisa

Kalimat itu terus saja berputar di otaknya. Arkan merasa, dirinya telah dikuasai oleh ketakutan yang ia buat sendiri. Ketakutan akan seseorang yang berniat untuk membunuh Ici.

"Argh!"

Arkan mengerang kesal. Kelasnya sudah sepi tak berpenghuni. Dengan cepat, ia meraih tas punggungnya dan berjalan keluar kelas, menuju parkiran.

Disisi lain, Cecil masih tak ingin beranjak keluar dari toilet sekolah. Pikirannya terus saja berkecamuk.

Gimana kalo orang itu bener-bener dateng? Gimana kalo dia memang berniat jahat? Gimana kalo--

CKLEK

Pintu toilet terbuka. Seorang siswi masuk dan mendekat kearahnya.

"Vivi?! Lo belom pulang?" tanya Cecil.

Vivi hanya membalasnya dengan senyuman sinis. Melihat hal itu, Cecil sedikit terkejut, ada apa dengan teman se-geng nya ini.

"Tahu apa lo soal urusan gue?!" balas Vivi penuh emosi

Cecil seketika berjengit "Vi..? L-Lo kenapa?"

Vivi justru mendengus acuh dan mengerlingkan kedua matanya malas.

"Denger ya Cil, gue bukan tipe orang yang gampang dihasut semudah itu oleh orang kayak elo. Lo butuh gue disaat elo butuh aja, ya kan? Selama ini lo udah manfaatin gue. Lo sengaja kan berteman sama gue cuman buat ngelibatin gue ke masalah pribadi lo? Alvaro atau entahlah itu. Tapi akhirnya gue sadar, kalo gue udah nyakitin banyak orang demi nge-belain keegoisan lo. Sorry Cil, gue gak yakin kalo gue bisa jadi teman lo lagi. Bye"

Vivi berpaling meninggalkan Cecil yang termenung menatap lantai toilet. Bukan ini yang Cecil inginkan.

Tes..

Sebulir hangat jatuh ke pipi Cecil. Apa ini yang ia dapatkan selama ini? Seorang pengkhianat? Apakah karma itu benar-benar ada?

Cecil tak tahu harus berbuat apa lagi. Hatinya terasa remuk dan hancur. Vivi sudah ia anggap sebagai saudara sendiri sejak mereka berkenalan ketika MOS. Tapi lihat saja sekarang, tak ada yang namanya sahabat sejati. Kini tali itu telah putus dan takkan ada yang bisa menyambungnya lagi.

My Brothers, My Bodyguard ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang