[21] It's Beginning

4.9K 377 4
                                    

Sudah tiga hari hujan deras mengguyur kota Jakarta. Tiga hari itu pula Ici absen dari daftar kehadiran kelas. Tak ada yang tau, apa dan mengapa gadis itu sampai-sampai melewatkan ujian teori Penjas hari ini. Padahal, Ici dikenal sangat rajin dan terpelajar di kalangan guru-guru olahraga.

Arkan pun juga merasakan keganjilan yang sama. Biasanya Ici yang selalu riang, petakilan dan troublemaker soal pelajaran seni musik di kelas, kini hilang entah kemana tanpa jejak. Surat pun tak sekalipun ia titipkan pada guru, entah apakah ia sakit atau ada keperluan lain. Tak ada yang tahu.

Lain halnya dengan Alvaro, semenjak kabar Ici tak masuk selama 3 hari terdengar olehnya, lelaki itu selalu dihantui oleh bayang-bayang Cecil. Ya, Ariana Grande KW 10 tersebut memanfaatkan kesempatan emas ini untuk menarik perhatian Alvaro, mengingat Ici adalah saingan terberatnya. Walau rasa sayang Alvaro masih terus terpatri pada hati Ici.

"Beb, ke kantin yuks," tawar Cecil manja sambil bergelantungan di punggung Alvaro.

"Bab-beb-bab-beb, lo kira gue bebek? Ogah ah! Lo sendiri aja sana," tukas Alvaro cepat lalu melepas pelukan dari Cecil.

Alvaro pun berjalan meninggalkan Cecil sendirian di korridor, lagi. Tak perduli gadis itu bakal merengek atau meraung-raung memanggil namanya, Alvaro tetap acuh. Toh, hubungan mereka didasari oleh perjanjian, bukan cinta. Alhasil, Alvaro tak kaget bila sewaktu-waktu keluarga Cecil membatalkan tunangan ini.

Disisi lain, Arkan masih pusing dengan pikirannya. Bukan karena soal esai yang sangat sulit, melainkan perihal kosongnya satu bangku di sebelah Arkan. Tak ada yang bisa diajak bertanya maupun bahan untuk contekan, mengingat Ici adalah ratu dalam segala hal bidang, khususnya olahraga.

"ARKHAN!!"

Bu Desi memukulkan penggaris besi di meja Arkan. Sontak seluruh siswa menoleh ke tempat duduk Arkan, tak terkecuali Pak Burhan yang bertepatan tengah berjalan di sepanjang koridor kelas sepuluh, kepalanya ikut melongok ke dalam kelas Arkan.

"Nama saya A-R-K-A-N bu, bukan Arkhan."

"Terserah, mau Arkhan kek Burhan kek, suka-suka ibu," elak Bu Desi diiringi cekikikan beberapa siswa yang menoleh kearah Pak Burhan di samping pintu.

"Nggak bisa gitu dong bu," Arkan memprotes. Pandangannya tertuju pada Pak Burhan yang tercengang kaget karena namanya disebut-sebut. "Dikiranya nanti saya kembarannya Pak Burhan dong."

Arkan memajukan dagunya menunjuk Pak Burhan di sebelah pintu. Malu-malu takut Bu Desi ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Arkan. Sungguh, Maha Benar Allah atas Segala Firman-Nya.

💣💣💣

"Heyyo Watssap Bro!"

"Manggil gue?"

"Serah!"

Lelaki itu langsung berpaling pergi, membuat Alvaro mengernyitkan dahi seketika. Tak kenal maka tak tahu, mungkin seperti itulah perumpamaan yang cocok untuk Alvaro sekarang ini, di sebuah cafe berbintang di tengah kota. Bersama sebuah kursi kosong di hadapannya.

Entah apa yang ada di pikiran Alvaro, sehingga dirinya berani untuk meninggalkan jam pelajaran terakhir dan keluar dari sekolah. Anehnya, dia selalu saja bisa menembus pertahanan Pak Badrun--si satpam sekolah--penunggu area gerbang masuk.

"Tuh anak siapa ya? Kagak pernah kenal, tapi nyapa gue. Atau gue-nya yang lupa ya?" gumam Alvaro berusaha mengingat-ingat sesuatu di memorinya tentang lelaki yang menyapanya barusan. Sedihnya, Alvaro dikenal murid pelupa.

CKRING

Pintu terbuka dan seseorang masuk sambil menenteng tas hitam di bahu kanan.

"Lo disini?!"

Alvaro mengernyit lagi, "Lo siapa?"

"Gue Arkan bego!"

Arkan langsung menghambur duduk di kursi kosong di depan Alvaro. Tak perduli dengan seragamnya yang sedikit acak-acakan, Arkan langsung memanggil pelayan cafe dan memesan secangkir cappucino.

"Lo kenapa sih? Kayak habis lari marathon aja," tanya Alvaro menginterupsi usai sang pelayan pergi dari mejanya.

Arkan masih mengatur napasnya. "Gue disuruh Pak Burhan nanyain kabarnya Ici, soalnya kan cuma dia perwakilan karate sekolah kita buat perlombaan besok."

"Lah trus?" Alvaro mendelik penasaran

"Ada sianida gak nih! Pengen gue celupin ke kopi lo. Sumpah!" balas Arkan kesal lalu berpaling ke sisi kiri, menatap embun di kaca.

Alvaro yang menyadari langsung ikut-ikutan menatap kearah kaca. Bukan embun yang ditatapnya, melainkan seseorang yang tengah duduk di halte sebrang jalan.

"Eh Ar," Alvaro menyenggol bahu Arkan," lo kenal sama tuh orang?" Alvaro menunjuk cowok ber-jas yang sedang duduk di halte.

Arkan langsung terperanjat kaget. Bagaimana bisa dia tak menyadari keberadaan lelaki itu tadi.

"Ro, gue harus cabut!" Arkan langsung meraih tasnya dan berlari keluar dari cafe.

"Tunggu! Gue ikut Ar!" pekik Alvaro lalu menyusul Arkan yang sudah kabur entah kemana.

Tak lama, seseorang juga ikut keluar dari cafe.

"WOY! KOPINYA BELOM DIBAYAR!"

Sayangnya, keduanya telah menghilang ditelan hujan.

My Brothers, My Bodyguard ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang