[25] Rival

5.8K 389 26
                                    

Hari ini adalah hari terburuk bagi Ferrel. Sudah tugas rumah menumpuk, ditambah lagi Ici yang mesti dirawat di rumah sakit. Belum lagi Raka yang rewel minta diantarkan beli nasi goreng di depan rumah sakit. Mengharuskan Ferrel untuk meninggalkan Ici sendirian di kamar pasien, demi meladeni kenginan Raka yang manja-nya gak ketulungan. Takut ketemu setan rumah sakit, katanya.

TING

Lift terbuka dan menampilkan sosok pria berjas hitam sambil membawa tas koper. Tatapannya begitu berwibawa, sehingga sempat membuat Raka melirik curiga.

Tampang-tampang koruptor, gumam Raka lalu berjalan acuh meninggalkan orang tersebut di dalam lift.

Ferrel segera menyenggol bahu Raka, usai melihat kelakuan adiknya yang memalukan. "Lo kalo ngomong dijaga"

"Siapa yang ngomong?" Raka menepis acuh. Bibirnya maju 5 cm dengan kerlingan mata kesal.

"Inget ya," Ferrel menekan hidung Raka dengan jarinya "Gue KAKAK lo"

Ferrel langsung melesat pergi tanpa memperdulikan Raka. Sejujurnya Ferrel sudah tidak tahan menghadapi kelakuan Raka yang sudah melewati batas, salah satunya merusak HP kesayangan Ferrel. Ya, 2 hari yang lalu Raka benar-benar mengirimkan sejumlah virus kedalam HP Ferrel berbentuk email. Bukan tidak mungkin jika Ferrel akhirnya murka, mengingat seluruh nomer-nomer penting tersimpan di memori internal HP nya itu.

"Serah."

Raka mendengus acuh dan terpaksa berjalan lesu menyusul Ferrel dari belakang.

***

Disisi lain, Arkan tengah terjebak macet di persimpangan kota. Bukan tak mungkin hal seperti ini terjadi, hanya saja pada waktu yang tak wajar. Jujur, baru kali ini Arkan mendidih kesal gara-gara kemacetan ibukota.

"Damn!" Arkan memukul setir motornya kesal. Bunyi klakson serta kepulan asap yang pekat berhasil membuat emosinya meluap-luap.

Tak ada jalan pintas di dekat sini. Rumah sakit tempat Ici dirawat juga masih sangat jauh. Satu-satunya cara ialah: melewati perkampungan kecil di sebrang jalan.

Pukul 19.00

Arkan segera menepikan motornya dan berlari menyebrang jalan. Jarak gang itu cukup dekat, namun kemacetan jalan ini membuat nyali Arkan menciut seketika.

TIIIIIIIIIIIIN

Nyaris saja tubuh Arkan tertabrak badan mobil Avanza yang melaju kencang dari sisi berlawanan, jika Arkan tak segera melompat keatas trotoar.

"Tuh orang gila ya! Nyari mati apa?!" Arkan memekik marah. Dikibasnya celana jeans yang kotor terciprat air genangan.

Pukul 19.30

Arkan masih sibuk menelusuri gang yang ia lewati, dan ternyata masih ada gang juga di dalam gang. Membuat Arkan pusing tujuh keliling dan harus singgah di salah satu warung kecil.

"Mas ganteng ini teh mau kemana? Kok kelihatannya bingung gitu?" salah seorang pemilik warung tiba-tiba mendekati Arkan sambil menyuguhkan secangkir teh hangat.

Arkan hanya membalasnya dengan senyuman tipis lalu menyeruput teh buatan gadis itu.

"Ini, temen saya lagi sakit. Tapi jalan ke rumah sakitnya macet parah. Yah... jadinya saya jalan kaki deh," ujar Arkan diikuti tawa kecil dari gadis seumuran Ici di sebelahnya.

"Temen Mas cewek ya?" tebak gadis itu masih dengan gelak tawanya.

Arkan langsung tersedak. Mulutnya megap-megap karena kepanasan. Bagaimana bisa gadis ini tau kalau dia hendak menjenguk Ici di rumah sakit.

"Kok kamu tau?" Arkan meletakkan tehnya lalu menoleh penasaran.

"Tuh, saya diberi tahu sama mas itu" gadis itu menunjuk seseorang yang tengah duduk santai di salah satu kursi.

Arkan berjingkat, "ELO!! NGAPAIN DISINI ?!"

Yang ditanya justru meringis kikuk seolah tak ada secuil dosa pun dalam hidupnya.

"Dari tadi gue disini keles" tukas Alvaro cuek.

Alvaro berniat untuk memukul Arkan. Tapi tak jadi. Bayangkan, bagaimana rasanya ditinggal di pos satpam sendirian yang gelap dan jauh dari peradaban. Untung saja Alvaro bukan orang yang baperan.

"Loh? Mas-mas ini udah saling kenal toh? Kok Eneng gak tau ya?" si Eneng dengan kepolosannya tiba-tiba ikut nimbrung diantara percakapan Alvaro dan Arkan.

"Eum ... kami teman satu sekolah"

Arkan nyengir, amit-amit satu sekolah, sekelas barengan aja ogah.

Eneng mengangguk mantap. Tak ada yang salah bila kedua cowok itu bisa satu sekolah, hanya saja Eneng sangat polos dan belum cukup umur untuk memahami perkataan Arkan barusan.

DRRRRT

Saku Arkan bergetar, tanda ada panggilan masuk. Arkan langsung menslide tombol hijau dilayar.

"Hal-"

"Sekali lagi saya bilang, saya tidak akan kalah dari anda. Haha!"

Tut~

Ini ada apa sih?!,

Arkan menatap layar ponselnya bingung. Lelucon yang bagaimana lagi yang terus saja menimpa dirinya. Dosa apa yang ia perbuat sehingga kesialan selalu datang bertubi-tubi, mulai dari insiden Ici masuk rumah sakit hingga terpaksa dipertemukan dengan Alvaro, biang onar pentolan sekolah.

"Pulsa lo habis ya?" Alvaro melirik masam. "Nih pake HP gue aja, mumpung ada paketan AI-EM-TRI setahun"

Alvaro merogoh sakunya, dikeluarkannya benda kotak bersudut tumpul dengan balutan sticker One Direction.

"Elo Directioner?" pekik Arkan terkejut saat melihat wajah-wajah personil 1D tersenyum ceria tanpa dosa di casing belakang HP Alvaro.

"Emangnya masalah? kata mama gue, muka gue tuh gantengnya kayak Harry WanDi" balas Alvaro datar, tak memandang mata Arkan sekalipun.

Arkan sontak bergidik jijik sambil mundur selangkah, diikuti Eneng yang ikut-ikutan mundur, dikira Alvaro hendak berjoget.

DRRRRRT

Ponsel Arkan bergetar lagi, namun kali ini dengan nomor berbeda.

Tut~

"Ha--"

"Arkan?! Lo cepetan ke rumah sakit Ici dirawat sekarang!"

Tut~

"Ini siapa lagi sih?" Arkan memekik kesal dan langsung berlari kearah motor milik Alvaro.

BRUM

"Eh! Motor gue mau dibawa kemana?!"

Arkan tak menghiraukan perkataaan Alvaro. "Naik!"

Sedikit cemberut Alvaro segera menaiki motornya dan mengaitkan kedua lengannya di perut Arkan.

"Ngapain lo?! Lepas!" Arkan menyentak tangan Alvaro kesamping.

"Kan pegangan" balas Alvaro

"Gak usah pegangan sekalian, biar jatoh baru tahu rasa lo!"

Arkan langsung meng-gas motor tersebut dan melesat cepat tanpa memperdulikan Alvaro yang hampir terjungkal kebelakang.

My Brothers, My Bodyguard ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang