[14] Hunger Games

7.5K 526 19
                                    

Ici POV

CINTA, kata orang manis seperti madu, harum seperti mawar, dan indah seperti senja. Tapi tidak untukku. Bagiku cinta itu seperti stasiun. Sementara. Sama halnya dengan kamu, datang lalu pergi begitu saja. Tanpa meminta maaf terlebih dahulu pada hati.

Tuhan menciptakan manusia dengan perasaan masing-masing. Tentunya berbeda-beda, namun saling melengkapi. Kecuali kamu. Kau buang perasaan itu secara cuma-cuma. Hingga akhirnya aku menyerah. Kurasa-

"ICI!! Buruaaan!!"

Kita tidak ditakdirkan bersama. - A

Kututup buku diary-ku, memasukkannya ke dalam tas, dan segera beranjak dari tempat tidur.

Tak ada yang istimewa di hari Senin ini. Lantai belum dipel, bau gosong yang menyengat, dan kicauan tiga abangku yang tengah meributkan sesuatu di lantai bawah. Bukan apa-apa sih, tapi yang kutakutkan suara cempreng Bang Raka itu loh, bikin kakiku hampir kepeleset di tangga.

"Harusnya tuh Argentina yang menang, Messi kan is the best,"

Tuh kan? Bola lagi bola lagi. Sampai kapan Bang Raka mau berhenti jadi komentator bola yang hobinya menghabiskan cemilan tiap malam.

"Kan tergantung kekompakan timnya bang," aku menyahut selagi menggeser kursi makan disamping bang Adrian.

Bang Raka mendengus kesal, sesekali menyesap teh tanpa memalingkan pandangan dari halaman koran pagi. Aku tahu Bang Raka orangnya sensitif terhadap sesuatu yang tak sinkron dengan keinginannnya. Terlebih lagi soal cinta. Jangan harap kalian bisa kabur darinya.

"EH COPOT!"

Satu lagi, spesies langka yang pernah kutemui. Tiap pagi, tiap jam, dan tiap menit, dia sangat-sangat-sangatlah perhatian. Terutama soal makanan. Tak ada yang bisa menandingi masakan buatan Bang Ferrel. Rasa, tekstur, dan aroma, Bang Ferrel-lah ahlinya.

"Kenapa bang?" sontak aku menoleh kearah Bang Ferrel yang lagi memasak di dapur. Takut-takut kompornya meledak.

"Nggak pa-pa"

Tak lama Bang Ferrel kembali dengan membawa tiga piring nasi goreng. Wangi dan tentu saja menggoda selera. Tak heran jika Milly--kucing tetangga sebelah--hobi berkunjung ke rumah.

Sarapan kali ini benar-benar nikmat. Ditemani dengan segelas susu putih dan tiga abang ganteng yang perhatian. Bang Adrian dengan ketegasannya, Bang Ferrel dengan kepandaiannnya memasak, dan Bang Raka dengan kelucuannya.

Tapi selalu saja, aku terus teringat dengan ayah dan bunda. Andai mereka bisa menemani kami disini, mungkin abangku takkan putus kuliah demi melanjutkan sekolah kemiliteran.

"Kok punyaku pahit sih?!"

Bang Raka memekik masam, ketika rasa nasi goreng yang dimakannya begitu aneh. Tanpa berlama-lama, Bang Raka langsung meneguk segelas susu didepannya dengan sekali tenggak.

Aku yang penasaran lantas mencoba nasi goreng di piring Bang Raka. Sepintas tak ada yang berbeda, namun saat butiran nasi itu melaju di tenggorokanku, barulah aku mendelik kaget.

"Wlee!" aku terbatuk-batuk, pengen muntah rasanya. "Gak enak, beda banget sama punya Ici"

Badanku tiba-tiba merinding, menunjukkaan mimik muka takut terhadap nasi goreng buatan Bang Ferrel, masa iya abangku tega mau ngeracuni adiknya sendiri. Kulihat Bang Ferrel malah terkekeh kecil, nasi goreng di piringnya juga belum disentuh sedikitpun. Apa jangan-jangan Bang Ferrel diet?

"Punya Bang Ferrel kok gak dimakan?" aku menatap Bang Ferrel bingung, meminta jawaban atas utuhnya sepiring nasi goreng di atas meja.

"Tadi itu sebenernya ada cicak jatuh ke nasgornya, ya masa iya harus gue makan,"

"APA?!"

Aku, Bang Adrian, dan Bang Raka langsung berlomba lari ke toilet. Semoga saja arwah cicak itu tak marah kepada Bang Ferrel, ya kali ada hewan yang mau dimasak dengan cara mengenaskan seperti itu. Harap-harap aja kita bertiga gak bakalan masuk ruang UGD besok.

💣💣💣

Dih, Bang Ferrel jahat! Gara-gara Bang Ferrel nih Ici jadi dihukum kayak gini, batinku sambil menggertak kesal. Memang seperti inilah kenyataannya, gara-gara makan nasi gorengnya Bang Ferrel, aku jadi terlambat masuk sekolah dan harus disetrap dibawah tiang bendera.

Oh Tuhan, kesialan apa lagi yang harus kutanggung

"ICI!!"

Alamak, dia lagi dia lagi, sampai kapan Alvaro mau berhenti ngejar-ngejar aku. Dia kan udah tunangan sama si Cili itu.

"Lo ngapain disini Ci?" tanya Alvaro sambil menatapku dari atas sampai bawah, detail.

"Ya lo lihat gue lagi ngapain disini?" jawabku sedikit ketus. Pengen makan orang rasanya.

Alvaro mendengus, "yaelah Ci, senyum napa, gak usah pake cemberut gitu. Gue kan cuman nanya?" ujarnya lalu mencubit kedua pipiku gemas.

"Peduli amat lo sama gue," balasku masih dengan muka berpaling tanda tak ingin diganggu.

"Gue kan sayang ama elo"

Pipiku seketika memanas. Entah dari mana darah ini berdesir hingga membuat jantungku berdegup begitu kencang. Nggak, nggak mungkin, aku nggak bakalan nikung sahabat sendiri yang udah bertunangan sama cewek lain. Itu gak bakalan terjadi.

"Buktikan ke gue, buktikan kalo lo itu sahabat sejati yang bisa jaga perasaan orang lain. Buktikan itu ke gue, Alvaro Fernandes."

Aku nggak tau gimana kata-kata kasar itu keluar dari mulutku. Kuharap Alvaro nggak akan marah.

"Ci," Alvaro berbalik menatapku, "gue cuman sayang sama elo. Gue tunangan juga itu dijodohin sama kakek gue, gue gak cinta sama Cecil, gue cintanya ... sama elo."

Deg

Oh Tuhan, aku nggak ingin dicap sebagai wantita perusak hubungan orang. Aku nggak ingin seseorang tersakiti, hanya gara-gara aku.

Bang Adrian, andai abang nggak nyuruh kita pindah kesini, mungkin seseorang sudah bahagia di pernikahannya.

"Ro," demi apapun, aku berusaha menahan air mata ini. "Kalo lo emang sayang sama gue-"

Tes. Sebulir air mata lolos jatuh ke pipiku.

"Lupain gue."

My Brothers, My Bodyguard ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang