[27] Problem

4.9K 337 0
                                    

Arkan menggerutu kesal. Motor yang ia kendarai bersama Alvaro mogok tanpa sebab di tengah jalan. Padahal jarak rumah sakit tinggal 2 km lagi, tapi lagi-lagi, ada aja masalah yang menghadang.

"Kan udah gue bilang," Alvaro bersikeras "motor gue tuh lagi sakit. Minta ganti oli. Masih ngeyel aja dipake"

Arkan mengerling pasrah, ucapan Alvaro barusan malah membuat gendang telinganya terasa panas. Bagaimana tidak? Bisa-bisanya laki-laki penyabet medali emas dalam menaklukan hati cewek itu baru bilang kalau motornya sakit, tandai... SAKIT.

Masalahnya adalah... mereka terpaksa harus menepi di pinggir jalan tol. Tak ada jalan tuk memutar balik, apalagi harapan untuk menemui Ici. Andai saja Arkan tidak bertemu Alvaro di warung tadi, mungkin ia tak perlu repot-repot membenahi tangki bensin motor Alvaro.

TIIIIN

Sebuah mobil sport merah tiba-tiba berhenti di hadapan mereka. Alvaro yang tadinya sibuk mengetik sesuatu di hp-nya seketika terlonjak kaget dan menjatuhkan benda persegi bercasing 1D itu.

"Shit!" Alvaro berjongkok dan meraih ponselnya yang tertutup oleh tanah.

Sedikit kesal, dikibasnya sisa tanah tersebut tepat di depan kaca mobil yang tengah terbuka.

SRET

Pasir itu terlanjur mengotori muka Adrian yang tengah menoleh kearah Alvaro. Bukannya minta maaf, Alvaro malah nyengir dan mengatupkan kedua telapak tangannya.

"Punten..."

Senyum itu membuat Adrian jengah. Ia pun membuka knop pintu mobil dan melangkah mengacuhkan Alvaro. Tujuan dirinya datang kesini adalah bertemu dengan Arkan, itu saja.

Arkan hanya mendongak bingung ketika kedua bola matanya memandang mata biru milik Adrian.

"Bang Adrian? ada ap-" belum sempat Arkan bangkit berdiri dan menyelesaikan kalimatnya, Adrian langsung menyodorkan seberkas dokumen ke hadapan Arkan.

Ragu-ragu, Arkan menerima lembaran dokumen itu dan menelitinya sekilas.

"Apa ini?" tanya Arkan. Ia tak berhenti membuka lembar demi lembar isi dokumen tersebut.

"Harusnya saya yang tanya. Siapa dia?" Adrian menatap Arkan intens. Ia tak pernah membayangkan apa yang akan terjadi pada adiknya nanti.

Arkan masih bingung dengan pertanyaan Adrian. Apa maksudnya 'siapa dia?'. Arkan benar-benar tak mengenali foto seseorang dalam dokumen ini. Itupun jika dirinya pernah bertemu ataupun bertatap muka, mengenalnya saja tidak.

"Aku tak tahu..." jawab Arkan lalu mengembalikan dokumen tersebut kepada Adrian.

Namun, lagi-lagi, Adrian menatap Arkan tajam. Seolah-olah laki-laki itu sedang main-main dengannya.

"Haruskah saya memakai cara yang keras untuk membuat anda berbicara jujur?" Kali ini, Adrian tak main-main. Kalimat demi kalimat yang diucapkannya seakan meredupkan seluruh keberanian yang Arkan miliki.

Arkan kembali menghela napasnya berat. Apa yang harus ia katakan kali ini?

Namun, hal yang tak terduga terjadi. Alvaro tiba-tiba melangkah mendekat dan mengambil dokumen itu tanpa basa-basi. Adrian dan Arkan sontak bingung, lalu menahan bahu lelaki itu bersamaan.

"Mau apa kau?" Adrian merebut dokumen itu kembali ke tangannya. "Jangan ikut campur!"

Alvaro memicing sejenak "D-Dia.."

"Kenapa? Ada apa?" tanya Arkan masih kebingungan.

Adrian tiba-tiba menjentikkan jarinya. "Ya, benar! kau pasti ada hubungannya dengan dia" ujarnya lalu menggamit paksa lengan Alvaro masuk kedalam mobilnya.

"Tapi motornya..." Arkan menatap motor Alvaro yang masih mogok tak berdaya.

"Biarkan disana" sahut Adrian "ayo!"

Ketiganya segera masuk kedalam mobil Adrian. Alvaro duduk disamping Adrian, sedangkan Arkan duduk di kursi belakang.

Tanpa berlama-lama, Adrian langsung menyalakan mesin mobilnya dan menggasnya kuat-kuat menuju rumah sakit.

*****

"Makanya jadi adek tuh jangan rewel! Nurut sama apa yang gue bilang!"

"Idih! Siapa yang rewel? Bang Rey aja tuh yang kelewatan manja!"

Cecil memalingkan wajahnya kesal. Masih untung dirinya mau disuruh-suruh seperti ini, biasanya bom molotov bakal meledak di rumah Cecil jikalau ada yang berani-berani memerintahnya, terutama Bang Rey.

Bang Rey hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum gemas melihat tingkah laku adiknya yang membuatnya ingin mencubit kedua pipi tembem itu. Namun, ia yakin dirinya takkan bisa menyentuh bakpao tersebut. Selagi Cecil rajin merawat kukunya, ia takkan bisa menembus benteng mak lampir tersebut.

"Mana selimut gue?" titah Bang Rey layaknya seorang rentenir sedang menagih hutang.

Cecil mencebik, sebelum akhirnya melempar kresek merah besar tersebut tepat ke muka abangnya.

Bang Rey hanya menggeleng kecil melihat kelakuan adiknya kali ini. Untung tangannya dengan sigap langsung menangkap kantung kresek tersebut bak kiper Real Madrid.

"Ish, ish, ish! Sejak kapan abang ngajarin adek abang kayak gitu?"

"Barusan!"

Cecil menjulurkan lidahnya kearah Bang Rey. Laki-laki itu hanya membalas dengan senyuman geli saja.

SRAK

SRAK

Kantung kresek itu dibuka secara brutal oleh Bang Rey, hanya untuk memberi efek rasa takut pada adiknya. Dan untungnya, cara ini berhasil. Cecil langsung meringkuk ketakutan tak berdaya dan menutup kedua telinganya rapat-rapat. Itu karena... Bang Rey tahu Cecil phobia terhadap suara decitan.

"Bang! Cukup!" Cecil berteriak memohon. Abangnya sudah sangat keterlaluan.

Bang Rey justru terkekeh dan melempar sisa kantung tersebut ke hadapan Cecil.

"Lho?"

Seketika suasana mendadak mencekam.

"Selimutnya kok gambar barbie, Cil?"

My Brothers, My Bodyguard ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang