Terik matahari tak pernah terasa sesendu itu baginya.
Di sanalah ia berada. Tipikal wanita karir yang telah mencicipi asam garam kehidupan. Tapi, kini ia berada bukan sebagai wanita karir, namun hanya wanita biasa. Berbalut kebaya bernuansa ungu dan sepatu berhak tinggi, ia berbaur bersama keramaian. Keringat mulai membasahinya, dan sebelum ini ia sempat mengecek cermin, melihat apakah riasannya harus diperbaiki. Ia masih tampil sempurna. Tentu saja, wanita itu sangat yakin dengan kemampuannya merias dirinya sendiri. Tapi, satu hal yang ia temukan dan tidak bisa ia perbaiki. Gurat lelah yang tercetak di wajahnya.
Sampai kapan antrian ini berakhir?
Sampai kapan ia harus menahan gejolak emosinya?
Irisnya memandang jauh ke depan. Di sana, fokusnya terpaku pada dua sosok yang sedang bersandingan. Sosok pertama, wanita dengan balutan baju pengantin bernuansa putih dan aksesori bunga melati. Riasan natural membuat sang pengantin wanita terlihat sangat manis. Bahkan wanita karir itu harus mengakui pesona sang pengantin, meski yang bersangkutan tidak terlalu tinggi. Oh ya, dia memang punya selera yang bagus.
Bibir berpoleskan gincu merah itu melengkung sedikit saat melihat dia yang baru saja ia pikirkan. Dia yang sedang berdiri di samping sang wanita, terlihat kokoh dan mantap. Pancaran iris yang penuh kebahagiaan itu tak luput dari pengamatan sang wanita. Pastinya, iris sang wanita tidak pernah melewatkan apapun dari dirinya. Dia selalu mengamati pria itu. Selalu. Apapun yang terjadi. Termasuk saat ini.
Meski mereka sama-sama tahu akan ada hati yang hancur saat itu.
Jadi, tanpa mengalihkan pandangan, sang wanita melangkah. Langkah yang penuh kehati-hatian. Secara fisik dia mampu menjaga langkahnya, tapi hatinya terjerembab. Semakin dekat wanita itu dengan sang pria, semakin sulit hatinya bangkit kembali. Ada jerat tak kasat mata yang menahannya untuk tetap berada di posisi itu. Ia tak bisa berdiri, apalagi melarikan diri.
Ketika wanita itu sudah berada di depan sang pengantin pria, nurani mereka berbisik. Mungkin untuk terakhir kalinya.
Senang akhirnya orang konyol sepertimu berada di atas pelaminan, Tuan Muda.
Kuharap kau juga segera menyusul. Kau tahu, ubanmu mulai terlihat.
Kau pikir aku seperti ini karena siapa, dasar bodoh.
Iris mereka bertemu.
Aku selalu menunggumu. Aku selalu memegang janjimu. Sampai saat ini.
Kau tidak harus menungguku. Kita berdua sama-sama tahu hal itu.
Lalu kenapa kau memberiku janji itu?
Itu janji yang kuberikan ketika aku masih mengira takdir akan memihak kita.
Tangan mereka bertemu. Sang wanita mengucapkan selamat. Sang pria berterima kasih.
Hey, bisa kau ucapkan janji itu lagi? Janji yang kau katakan sebelum jarak memisahkan kita?
"Aku akan mencarimu. Meski ada jutaan orang, meski peluang kita bertemu hanya satu banding ratusan, aku akan menemukanmu. Setelahnya, ayo kita menjajaki kehidupan ini bersama."
Apa saat itu kau benar-benar memaksudkannya?
Ya.
Lalu kenapa kau membiarkan takdir memainkan kisah kita seperti ini?
Ada sekitar tujuh miliar jiwa di muka bumi ini. Seiring bertambahnya usia, aku menyadari kalau mencarimu adalah suatu kemustahilan.
Di antara sekian banyak orang di dunia, kenapa bukan aku yang berada di sampingmu saat ini?
Kenapa bukan dia yang ada di sampingku saat ini?
Selesai memberi selamat, wanita itu berlalu. Dia sama sekali tidak melihat kilatan luka sedikit pun di mata sang pria. Apakah luka itu terlalu kecil untuk dilihat, atau dia memang tidak merasakan hal yang sama dengan dirinya saat ini? Mungkin saja dia terlalu bahagia untuk memikirkan masa lalu.
Sejak kapan kau membulatkan tekad itu? Menghapus perasaan itu? Melenyapkan kenangan di antara kita?
Sejak aku menyadari semua kemustahilan itu.
Bagaimana bisa kau sanggup melakukannya? Aku bahkan tidak bisa melihatmu tanpa munculnya kilasan saat kita bersama.
Langkah wanita itu memelan begitu ia sampai di luar. Terik matahari menyambutnya. Memicingkan mata, ia menatap sang mentari. Kalau dalam cerita fiksi, saat-saat kehancuran hati sesorang pasti ditandai dengan mendung atau bahkan hujan. Tapi, kenapa sekarang begitu cerah dan panas? Apa semesta sedang mengejeknya?
Beritahu aku cara mengucapkan perpisahan pada semua ini.
Aku tidak tahu.
Kau yang memulai semua ini.
Aku sudah mengakhirinya.
Aku tidak merasa kau sudah mengakhirinya. Aku tidak tahu kau sudah memutuskan untuk mengakhirinya.
Gelombang asa yang terpendam mulai pasang di pelupuk matanya.
Duhai waktu, engkau berkata bahwa kau akan membantuku bangkit.
Menyembuhkan lara yang kupendam.
Kapan kau akan melakukannya?
Bolehkah aku memohon agar kau melakukannya saat ini?
Bahkan semesta saja sudah tahu kalau aku tidak sanggup menanggung semua asa ini.Teriknya mentari tidak mampu menyembunyikan aliran sungai di wajah wanita itu.
(tamat)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Kisah Kehidupan
Short StoryIni bukanlah kisah yang mengalir dengan tenang bagaikan sungai. Ini bukanlah narasi dengan diksi yang mengagumkan. Ini bukanlah cerita dengan akhir yang diharapkan setiap manusia. Ini adalah kumpulan kisah yang terjadi pada kehidupan. Kau boleh perc...