Shallow Sleep

9 0 0
                                    

Tangan mencengkeram pagar besi.

Kaki berada di tepi. Badan yang dibalikkan karena mendengar seruan pemuda itu.

Si gadis meminta sang pemuda berada di tempatnya, maka ia turuti.
Sang pemuda bersuara, berusaha mempersuasi dengan segala cara. Sang gadis menolak dengan senyumnya.

Bujukan gagal. Sang pemuda putus asa.

"Apa karena aku enggak bisa nerima perasaan kamu, makanya ..." Suaranya tercekat.

Gadis itu menggeleng, "Kamu udah nolak aku, tapi kamu jujur. Kamu yang masih menghargai perasaan aku. Kamu yang masih mau ... berteman dengan orang seperti diriku. Justru kamu lah alasanku bisa bertahan sejauh ini. Cuma kamu."

"Lalu kenapa--"

Gadis itu tersenyum. Manis dari luar, tapi penuh dengan kepedihan apabila orang-orang cukup peduli untuk mau melihat di balik topeng yang dikenakannya selama ini.

"Aku capek, Gar."

Hanya itu yang dikatakan, tapi mereka berdua tahu bahwa capek yang dimaksud bukan lelah secara fisik. Lelah yang tidak bisa disembuhkan dengan tidur semata, kecuali tidur selamanya termasuk di dalamnya. Lelah yang menjadi lawannya selama ini. Lawan dalam pertarungan yang dirinya sendiri sudah tidak ingat sejak kapan telah melaluinya. Pertarungan agar dirinya sanggup bangkit dari tempat tidur. Pertarungan agar dirinya mampu berfungsi sebagai manusia pada umumnya.

Tapi, kali ini dia kalah.

"Gar."

Gadis itu kembali memanggil nama sang pemuda. Dia selalu suka pada saat harus memanggil namanya, membuat desiran hangat dalam dadanya. Hangat yang nyaman, namun juga menyakitkan.

"Kamu tau, aku dari dulu suka melihat langit. Terutama langit biru yang cerah. Ketika aku merentangkan tangan, aku bisa merasakan langit memelukku. Begitu hangat. Begitu menenangkan. Membuatku ingin menenggelamkan diri dalam lautan langit. Aku selalu bertanya-tanya, apa aku bisa melakukannya suatu hari nanti ..."

Mata pemuda itu terbelalak. Dia berseru memanggil nama si gadis sambil berlari ke arahnya. Senyumnya melebar, tulus tanpa beban, karena senyum itu diperuntukkan padanya. Gadis itu pun selalu menyukai nada pemuda itu saat memanggil namanya.
Pegangan tangan dilepas. Tangan direntangkan, tubuh itu mulai melayang.

"Tapi, sepertinya gravitasi bumi lebih kuat, ya?"







Pandangan sang pemuda berganti menjadi langit-langit kamarnya.
Kamarnya masih gelap. Tidak ada tanda-tanda matahari menyelusup di sela-sela tirai, berarti malam masih menjelang.

Senyum mengembang di wajahnya, perlahan menjelma menjadi tawa kecil. Dia tak mengerti, mengapa dari sekian waktu hidupnya, mimpi itu harus kembali pada malam ini. Dia tidak pernah dihantui oleh bayang-bayang masa lalunya, tapi kenangan bersama si gadis merupakan salah satu hal yang memberi noda kentara dalam kehidupannya. Tidak akan bisa hilang dengan cara apapun, karena dia pun tidak akan pernah ingin kenangan itu menghilang.

"Tenggelam dalam ... lautan langit, ya?"

Nafas berat dihela dari mulutnya. Dia mulai mengerti kenapa dirinya memimpikan si gadis.

"Apa ini artinya ... aku harus menyusulmu?"

Karena dia pun sampai pada titik lelah yang sama.

(tamat)

Sekeping Kisah KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang