Selamat Tinggal

29 0 0
                                    

"Selamat tinggal," katamu tiba-tiba.

Pertama kali aku mendengarnya, keningku berkerut. Kita, dua manusia yang secara kebetulan menjadi teman sekelas, tidak pernah mengobrol sebelumnya. Saat ini pun, kita hanya kebetulan berada di angkot yang sama. Mengobrol ringan tentang pekerjaan rumah, lalu sebelum kau turun dari angkot, kau mengatakannya.

Aneh, sejujurnya. Kita hanya akan pulang ke rumah masing-masing, dan besok kita akan bertemu kembali di sekolah, jadi kenapa juga kata-katamu rancu seperti itu? Penggunaan 'selamat tinggal' sangatlah tidak lazim digunakan. Bahkan untuk penggunaan 'sampai nanti', aku jarang menggunakannya, dan lebih menggunakan 'dadah' pada teman-temanku.

Jadi, kenapa 'selamat tinggal'?

"Kita tidak akan tahu kapan kita akan berpisah," katamu tenang setelah aku menanyakan alasanmu, "jadi lebih baik kukatakan sebelum terlambat."

***

"Selamat tinggal," katamu saat kelulusan SMA.

Kau mengatakan itu sebelum aku masuk ke dalam rumah, setelah siang harinya kita datang ke kelulusan SMA kita. Kutatap sekilas jas yang kau kenakan, harus kuakui itu membuat ketampananmu bertambah sekian persen. Kuingat komentar teman-teman kita yang juga pangling dengan fisikmu, seakan kau adalah Cinderella versi lelaki yang mendadak tampan untuk menghadiri pesta dansa.

Tapi hal itu tidak mengubah fakta bahwa sepanjang SMA kau dijauhi banyak orang karena kebiasaan antikmu mengatakan salam perpisahan. Mereka yang bangga menjadi normal dengan cara mengucilkanmu, mereka yang kubenci selama tiga tahun ini meski kau tidak keberatan dengan kelakuan mereka. Aku tidak pernah mengerti bagaimana kau bisa tahan dengan segala perlakuan mereka. Maksudku, mengucilkanmu hanya karena satu alasan bodoh?!

"Mungkin, kali ini aku mengatakan selamat tinggal untuk kenangan selama SMA yang ingin kulupakan."

... Ah, bodohnya aku. Kau pastinya merasa sakit karena perlakuan mereka.

***

"Selamat tinggal," bisikmu, tidak ingin mengganggu penghuni lain kostan yang mungkin saja sudah tidur.

Saat itu, kita baru akan berpisah setelah belajar bersama di perpustakaan kampus. Jurusan yang berbeda tidak menghalang kita untuk belajar bersama, meski konsep belajar bersama kita adalah duduk bersama sambil mempelajari mata kuliah masing-masing. Hari sudah gelap saat kita berpikir untuk menyudahi belajar bersama kita, dan kau memutuskan untuk mengantarku pulang ke kostanku terlepas dari protesku. Hey, meskipun aku perempuan, tapi kostanku tidak sejauh itu dari kampus sampai harus diantar pulang.

(Tapi pada akhirnya aku menghargai niatnya)

"Selamat tinggal, untuk saat ini. Dan aku sangat berharap adanya pertemuan selanjutnya untuk mengatakan salam perpisahan lagi," lanjutmu, tapi aku mengerti akan maksud tersirat dalam ucapanmu. Senyumku mengembang.

Aku pun menantikannya.

***

"Selamat tinggal."

Kau mengucapkannya sambil menepuk kepalaku yang lebih pendek darimu. Reuni SMA memang melelahkan mental, apalagi untuk seseorang sepertimu, tapi itu tidak menghalangimu untuk menemaniku. Terbersit rasa bersalah pada diriku karena memaksamu, tapi kau hanya tersenyum dan mengatakan kalau kau tidak keberatan.

"Salam perpisahan untuk kenangan membosankan hari ini," katamu sambil terkekeh. "Jangan lupa, besok kita akan kembali pergi dan berstatus sebagai anak rantau."

Aku tertawa.

"Selamat tinggal!"

Untuk pertama kalinya, aku menjawab salam perpisahanmu.

***

"Selamat tinggal."

Awan kelabu menaungimu yang tengah berdiri. Orang-orang sudah lama berlalu, tidak memedulikan dirimu yang masih mematung. Mereka yang kembali ke kehidupan dan urusan masing-masing, tapi kau tidak bisa melakukannya. Kau masih tak sanggup melakukannya. Kau tidak ingin pergi. Kau tidak ingin melanjutkan kehidupan. Tenagamu sudah hilang terserap semesta, musnah tak bersisa. Kau bahkan tak bisa mengepalkan tanganmu. Tanganmu terkulai di sisi tubuhmu, lama tidak kau gerakkan.

"Setelah ini, tidak akan ada orang yang kuucapkan salam perpisahan lagi," katamu sambil menarik napas, merasa sakit tak berwujud dalam dada.

"Selamat tinggal, kali ini untuk selamanya."

Ada sinar yang hilang dari matamu saat melihat batu nisan bertuliskan namaku.



(tamat)

Sekeping Kisah KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang