Pagi hari, di akhir pekan, kita berdua sering ada di taman.
Duduk di ayunan, kita tertawa riang.
Aku, dirimu, dan angin dingin yang membelai kita.
.
"Kamu makin pendek."
Kulihat komentarku menyakiti hati Nadia, membuatnya yang pada awalnya ceria langsung cemberut seketika. Aku terkekeh, dan rasa hangat menjalari diriku. Nadia, teman sejak kecilku, yang rela jauh-jauh datang ke stasiun untuk menjemputku, berakhir dikomentari seperti itu olehku.
"Kamu jahat Ka," katanya sambil melipat kedua tangannya di dada. "Bilang pangling gitu, atau aku kurusan, atau aku makin cantik. Malah komentarnya aku pendekan."
"Maaf maaf." Aku berkata tanpa penyesalan sedikit pun.
Kupalingkan pandanganku dari Nadia. Setelah setahun merantau, stasiun kereta nampak berubah di beberapa sisi. Ada beberapa toko oleh-oleh yang seingatku belum ada saat berangkat, dan ada pula toko yang kurasa hilang setelah sekian lama aku tidak melihat tempat ini. Tapi keramaiannya tetap sama. Orang-orang yang lalu lalang, entah itu naik atau turun dari kereta, petugas stasiun di sana-sini, juga pegawai toko-toko makanan dan oleh-oleh di sekitar stasiun, semua tetap terasa sama. Ada beberapa hal yang berubah, namun tetap ada yang masih sama seperti saat sebelum kutinggalkan.
Senyumku terkembang.
Aku kembali.
Aku kembali, tapi tidak benar-benar pulang.
Pulang tidak selamanya bermakna sesuatu yang membahagiakan. Pulang berarti kembali. Banyak orang yang ingin untuk kembali. Banyak orang yang memiliki tempat untuk kembali dan pulang. Pulang ke mana? Ketika ada yang menanyakan hal itu, mereka sudah memiliki jawaban, tapi aku tidak. Aku memiliki tempat kembali, tapi kalau pulang...
"Ka." Suara lembut di sampingku seakan menjadi pengingatku untuk tetap berpijak di kenyataan, dan bukannya melayang dalam pikiran.
Masih mempertahankan senyum, aku menatap Nadia dan menepuk pelan kepalanya. Perbedaan tinggi kami yang kentara membuatku nyaman untuk menepuk dan mengelus kepalanya, tapi aku yakin gadis itu akan merajuk kalau aku sering melakukannya.
"Cari taksi, yuk."
Nadia mengangguk, dan kami berjalan beriringan meninggalkan stasiun. Tidak lama sebenarnya aku mencari taksi, karena keluar stasiun sedikit saja aku sudah dikerumuni beberapa supir taksi (aku bahkan belum benar-benar menghirup udara malam ketika mereka mendatangiku). Dalam beberapa menit, koperku sudah dimasukkan ke bagasi taksi, ranselku kusimpan di belakang bersama Nadia, dan aku duduk di kursi depan.
Lalu, mobil melaju.
Selama perjalanan, Nadia tidak mengajakku mengobrol. Bukan sesuatu yang aneh bagiku, jadi aku memilih untuk menatap pemandangan di luar mobil. Jalan yang dilalui bukanlah jalan yang asing bagiku, berhubung aku memang besar di kota ini. Namun, seperti yang kurasakan sewaktu di stasiun, ada yang sudah berubah meski ada pula yang masih tetap sama. Misalnya, adanya toserba baru di perempatan yang baru saja dilalui, lalu plang toko bangunan yang diganti, lalu rumah makan langganan mahasiswa di dekat sini masih ramai seperti yang terakhir kulihat.
Begitu mobil berbelok, aku langsung mengatakan, "Pak, nanti saya turunnya di gerbang aja ya." Sebelum sang supir bertanya, aku cepat-cepat menambahkan, "Kalau masuk takut susah muter keluarnya Pak. Enggak apa, rumah saya enggak jauh dari gerbang kok."
Tanpa mengalihkan pandangan dari jalan, sang supir mengangguk. Ketika sampai, aku langsung turun dan membuka pintu belakang mobil, membiarkan Nadia keluar sebelum aku mengambil ranselku. Setelah sang supir menurunkan koper dari bagasi mobil, aku membayar sesuai dengan tarif, dan menit selanjutnya aku melihat taksi itu melaju meninggalkanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Kisah Kehidupan
Historia CortaIni bukanlah kisah yang mengalir dengan tenang bagaikan sungai. Ini bukanlah narasi dengan diksi yang mengagumkan. Ini bukanlah cerita dengan akhir yang diharapkan setiap manusia. Ini adalah kumpulan kisah yang terjadi pada kehidupan. Kau boleh perc...