Patah

21 0 0
                                    

Tidak butuh waktu lama bagi Sabrina untuk menemukan sosok yang dicarinya.

Di antara pelanggan-pelanggan rumah makan, pria itu jelas terlihat karena dia satu-satunya orang yang duduk sendiri. Matanya terlihat fokus menelusuri halaman menu yang dipegangnya. Sabrina menunggu pria itu selesai memesan ke pelayan sebelum ia masuk dan menghampiri meja pria itu.

Tanpa permisi, Sabrina menarik kursi di hadapan sang pria dan duduk melipat kedua tangan di dada. Dia menyeringai kecil saat melihat ekspresi terkejut sosok di hadapannya.

"Kamu ..." Nada si pria menggantung, mengandung ragu. "Siapa ya?"

"Anda serius enggak tau, atau pura-pura?" tanya Sabrina sinis. Melihat si pria tak kunjung bersuara, gadis SMA itu menambahkan, "Bukannya anda sering menanyakan kabar saya? Bagaimana sekolah saya, bagaimana hasil tryout saya, bagaimana pilihan kuliah saya, dan lain-lain?"

Tidak ada kata ramah sedikit pun dalam suara Sabrina, dan penekanan pada kata 'anda' pun sangat kentara. Sabrina tidak suka dengan segala ucapan formalitas, terutama kata-kata 'saya-anda', tapi Sabrina jauh lebih benci pada sosok di depannya sampai menggunakan hal-hal yang tidak ia sukai.

Mata pria itu terbelalak, dan entah kenapa reaksi itu malah membuat Sabrina ingin tertawa terbahak-bahak. Tidak lucu, sebenarnya, tapi ada sesuatu dari reaksi itu yang menggelitiknya.

"Kamu ... Arin?"

"Tolong jangan sebut nama itu dengan mulut anda, saya sudah cukup muak melihat anda menanyakan saya dengan nama itu. Seakan-akan anda adalah orang yang akrab dengan saya. Jijik."

Pria itu masih terdiam. Sepertinya otaknya sedang menyatukan kepingan puzzle hingga akhirnya sebuah kesimpulan terbentuk.

"Kamu yang ngirim pesan itu ke saya?"

Pesan itu. Pesan yang membuat pria itu berada di sini. Pesan yang membuat Sabrina membolos dua jam pelajaran terakhirnya. Pesan yang Sabrina kirim.

"Iya," jawab Sabrina dengan nada menantang. Persetan dengan fakta dia harus menghormati orang yang lebih tua. Persetan dengan semuanya. "Kenapa? Anda mengira saya adalah orang yang akan memeras anda karena pesan yang saya kirim?"

Si pria bungkam. Mungkin perkataan Sabrina benar. Mungkin.

"Lucu," Sabrina terkekeh kecil, "Anda bisa mengira seperti itu, tapi nyatanya itu bukan hal yang besar."

"Terus, kamu mau apa, Sabrina?" tanya pria tenang.

Sabrina tidak tahu, apakah pria itu memang benar-benar tenang, ataukah ketenangan itu hanya ada di permukaan saja.

"Saya ..." Gadis itu mengedikkan bahu, "Hanya ingin melihat pria brengsek macam apa yang membuat ibu saya berpaling dari ayah saya."

"Sabrina, itu--"

"Bukan seperti yang saya kira? Itu bukan apa-apa? Anda dan ibu saya hanya teman biasa?" Sabrina mendengus. "Yeah, fucking right. Maaf karena saya tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari hubungan anda dan ibu saya."

Kening pria itu berkerut, entah karena makian Sabrina atau keseluruhan yang disampaikannya.

"Saya enggak peduli apakah anda memang rela tidak menikah demi ibu saya. Tapi saya benci cara busuk anda mendekati wanita yang sudah bersuami. Yah, meski sejujurnya saya juga sama bencinya dengan ibu saya yang merespon positif pendekatan anda."

"Dengar Sabrina, kami--"

"Bodo amat kalau sebenarnya anda dan ibu saya saling menyimpan rasa, yang semua terlambat karena ayah saya yang duluan melamar ibu saya. Anda ke mana saja, sementara ayah saya sudah melakukan tindakan nyata duluan? Anda terlambat. Dan bukannya menerima seperti orang dewasa ... anda, juga ibu saya, malah berkelakuan seperti itu."

Napas Sabrina tersengal. Ada begitu banyak hal juga makian yang ingin ia katakan. Dia ingin memaki sosok di depannya. Dia ingin memaki ibunya. Dia ingin memaki dirinya sendiri, karena terlepas dari apa yang telah terjadi, dirinya hanya mampu melakukan ini.

Lalu, setelah ini, apa?

Sabrina berusaha menenangkan diri sebelum melanjutkan perkataannya, "Saya enggak butuh penjelasan apa-apa dari anda, ataupun ibu saya. Yang harus diberi penjelasan semua ini adalah ayah dan kakak saya."

Cukup sampai di sini saja, meski Sabrina sebenarnya masih ingin melanjutkannya. Ditatapnya lekat-lekat sang pria. Ekspresi bersalah tercetak jelas di sana, dan pria itu masih tidak bersuara. Heh, bersalah? Pasti dia terlihat bersalah hanya karena Sabrina mengetahui kebenarannya. Sabrina yakin pria itu tidak merasa salah saat mulai mendekati ibunya. Mulai merayu dengan kata-kata manis. Manis yang memuakkan saat Sabrina melihat pesan antara ibunya dan pria itu, apalagi di mana sang pria sok menanyakan kabarnya. Setelahnya mulai bernostalgia masa lalu, dan tak lama pesan itu didominasi dengan pesan penuh kemesraan yang menjijikan. Terus, setelah itu apa? Bukan sekali dua kali Sabrina diam-diam alat perekam di kamar orang tuanya, dan rekaman itu menangkap nada manja ibunya dan pria itu.

Menjijikan.

Sangat amat menjijikan.

"Saya bicara dengan manusia, bukan dengan patung." Nada suara Sabrina meninggi begitu masih tak mendapat balasan perkataan dari sang pria. "Percuma saja saya datang ke sini. Ibu saya selingkuh dengan orang macam anda? Hah, saya tidak mengerti kenapa selera ibu saya sangat rendah."

Setelahnya, Sabrina berdiri dan berjalan begitu saja meninggalkan sang pria yang masih termenung. Langkah gadis itu dipercepat. Ia ingin cepat-cepat meninggalkan tempat itu, meninggalkan pria brengsek itu tepatnya. Tidak dipedulikannya ucapan 'terima kasih sudah datang' dari pelayan yang ada di dekat pintu. Tidak dipedulikannya pula senggolan orang-orang sepanjang jalan yang ditelusurinya. Sabrina tidak peduli. Dia hanya ingin menjauh. Jauh. Jauh. Jauh.

Banyak pertanyaan memenuhi otaknya. Kenapa harus dirinya yang menemukan semua ini? Kenapa bukan kakaknya? Kenapa bukan ayahnya? Apa yang akan terjadi setelah ini? Akankah keluarga mereka tetap utuh? Ah, tidak. Sejak Sabrina mengetahui hal ini, dia tidak yakin dengan keutuhan keluarganya. Cepat atau lambat, hal ini akan terbongkar. Lalu, apakah pada akhirnya orang tuanya akan bercerai?

Tapi, yang terpenting adalah ... akankah ayah dan kakaknya bisa menerima ini? Suatu pengkhianatan dari orang yang mereka sayangi.

Langkahnya memelan dan terhenti. Tubuhnya masih berdiri, terpaku di tengah trotoar. Pandangannya tertunduk. Badannya mulai gemetar.

"Brengsek memang."

Ada sesuatu yang patah dalam diri Sabrina saat air matanya mulai mengalir.


(tamat)

Sekeping Kisah KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang