Cara Membunuhnya

22 0 0
                                    

Dulu krayon adalah senjatanya. Di atas selembar kertas putih, dia menciptakan dunia ideal yang menyenangkan untuk dibuat. Berbagai warna ceria menutupi kertas itu, bahkan warna gelap akan menjadi indah di tangannya.

"Ngapain gambar seperti itu? Seperti anak kecil saja. Banyak hal yang bisa kamu lakukan daripada menggambar enggak jelas."

Suara robekan kertas membuat satu sisi dalam dirinya terbunuh.

###

Dulu pulpen menjadi pengganti senjatanya. Masih di atas kertas putih, tapi kini kertas putih itu ditutupi tinta hitam yang dibentuk menjadi kumpulan huruf. Dunia yang tercipta memang berbeda dengan sebelumnya, tapi hal itu tidak membuat semangatnya runtuh dalam menciptakan dunia yang menyenangkan.

"Ngapain kamu nulis gituan? Tulisanmu jelek. Lagian siapa juga yang mau baca tulisan macam itu?"

Goresan kasar di atas kumpulan huruf itu kembali membunuh dirinya.

###

Senjatanya berganti. Kuas di tangan, kanvas di hadapan, cat belepotan di mana-mana. Warna yang ia padukan tidak ceria seperti sebelumnya, cenderung sendu. Emosi tercetak jelas dalam karyanya. Karya yang menjadi cerminan jiwanya.

"Ini apaan? Suram banget sih. Berasa liat remaja labil yang demen galau."

Bantingan kanvas ke lantai kembali membunuh dirinya.

###

Sudah berapa kali senjatanya berganti? Kini gitar yang menjadi senjatanya. Dibanding sebelumnya, dia tak bisa melihat hasil karyanya. Karyanya hanya bisa didengar dan dirasakan oleh pendengarnya. Nada yang dihasilkan semakin sendu, cerminan jiwa yang lelah dibunuh berkali-kali.

"Sumbang banget suaranya. Niat enggak kamu maininnya?"

Tidak, kali ini cara membunuh dirinya lebih bersahabat. Setidaknya, dengan membunuh dirinya kali ini, dia bisa mendapat uang dari pembeli di situs jual-beli online.

###

Di sini dia berada.

Terkapar di lantai. Menatap kosong langit-langit. Klise sekali, cara mengekspresikan rasa lelahnya adalah dengan terjaga, berbaring di lantai saat tengah malam. Memangnya dia itu apa, tokoh utama cerita fiksi?

Tidak ada yang bisa ia lakukan, pikirnya.

Apapun yang ia lakukan sia-sia saja. Dia sudah lelah hidup hanya untuk dibunuh, dan kembali hidup hanya untuk mengalami hal yang sama. Sudah berapa kali dia dibunuh? Dia sudah kehilangan hitungan.

Kini, yang tersisa hanya rasa kosong.

Dan dia tidak tahu bagaimana cara mengisi kekosongan itu.

Kini, dia dibunuh, tanpa diberi kesempatan untuk hidup kembali.

(tamat)

Sekeping Kisah KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang