"Menikmati pemandangan terakhirmu, Yang Mulia?"
Memalingkan wajah dari tepi jendela tak berkaca yang menghubungkannya dengan dunia luar, sosok yang dipanggil 'Yang Mulia' kini menatap sosok yang baru saja bersuara itu. 'Yang Mulia', secara fisik hanyalah seorang pria berusia nyaris kepala tiga, tapi semua orang tahu betul kalau orang ini adalah sang penguasa kerajaan. Hanya dengan sekilas melihat, orang-orang akan tahu bahwa sang Raja bukanlah orang yang bisa dianggap sembarangan. Sorot matanya yang selalu terlihat tenang pada situasi apapun membuatnya terlihat misterius, dan orang-orang akan merasa seperti terhisap dalam lubang hitam tak berujung. Jubah dan mahkota yang biasa dikenakannya menambah aura intimidasi terhadap orang lain, bahkan dirasakan oleh orang-orang terdekatnya.
Aura itu tetap dapat dirasakan, meski kenyataannya saat ini nasib kerajaan dan nyawa sang Raja itu sendiri berada di ujung tanduk.
"Tentu saja, Saudaraku. Semua hal yang kita lihat akan selalu berubah setiap saat, tidak ada yang konstan," ujar sang Raja. "Bahkan pemandangan yang kulihat, semua itu akan selalu menjadi pemandangan pertama dan terakhir yang kulihat."
'Saudaraku'. Meski dipanggil demikian, ia tidak memiliki hubungan dengan sang Raja. Ia hanyalah salah satu pejabat tertinggi di kerajaan, telah menjabat jauh sebelum penguasa sebelumnya mangkat. Lelah dengan kehidupannya yang terasa monoton dan kalah oleh rasa tamak juga haus akan kekuasaan, dia menjelma menjadi monster yang rela menginjak makhluk lain untuk meraih apa yang ia inginkan.
Hingga, mereka berdua tiba pada waktu 'saat ini'.
"Apapun yang kau inginkan, Yang Mulia," ujar sang Menteri, "kuharap kau menyadari posisimu saat ini, Yang Mulia."
Tidak ada nada patuh dan penghormatan saat mengucapkan 'Yang Mulia'. Dua kata itu kini hanyalah sekumpulan huruf belaka, yang dilontarkan dengan nada congkaknya. Sang Menteri yang berhasil menyingkirkan pion-pion berharga sang Raja, merasa sudah berada di atas angin. Kini ia hanya tinggal melakukan skak mat untuk mengakhiri semuanya.
Tapi senyum tenang sang Raja membuat seolah-olah mereka hanya sedang bersantai sambil minum teh.
"Tentu saja aku sadar akan hal itu, Saudaraku." Sang Raja memejamkan mata, menikmati angin yang berhembus lembut, membuat helaian rambutnya menari-nari. "Aku juga sadar, kalau cepat atau lambat semua ini akan terjadi."
Kening Si Menteri berkerut, "Apa yang membuatmu yakin semua ini berjalan sesuai keinginanmu?"
Senyum tenang masih belum hilang dari wajah Sang Raja. Kelopak matanya terbuka perlahan, memperlihatkan iris kelabunya. Kelabu yang telah melihat banyak noda darah.
"Kau pikir aku siapa, Saudaraku?" Kelabu itu jernih seperti permukaan air yang tenang. Sangat jernih, membuat siapa saja yang bercermin ke dalamnya akan melihat dengan jelas pantulan diri mereka. Begitu jelas, sampai sisi menjijikan dan tergelap mereka yang bercermin pun akan terpantul tanpa bisa dicegah. Cerminan itu tidak memilih siapa saja yang ingin ia pantulkan, bahkan lawan bicara sang Raja tidak menjadi pengecualian. "Jangan remehkan Rajamu ini, Saudaraku."
"Kau bukan rajaku lagi!" sergah Si Menteri, terlalu cepat, dan kentara sekali kata-kata itu mengandung emosi. "Serahkan cap kerajaan, dan semua ini akan selesai."
Sang Raja tertawa. Cap kerajaan. Sebuah simbol kekuasaan, di mana orang-orang rela menumpahkan darah sesamanya hanya untuk mendapatkan benda kecil itu. Semua orang, tak terkecuali dirinya. Tapi sang Raja mendapatkannya berkat pertumpahan darah orang-orang di masa lalunya.
Lucu sekali, melihat orang-orang rela merengkuh kematian hanya demi benda kecil itu.
"Semua hal akan mengalami masa 'selesai', Saudaraku," Nada tenang itu masih mengalun. "Termasuk dirimu dan diriku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekeping Kisah Kehidupan
Short StoryIni bukanlah kisah yang mengalir dengan tenang bagaikan sungai. Ini bukanlah narasi dengan diksi yang mengagumkan. Ini bukanlah cerita dengan akhir yang diharapkan setiap manusia. Ini adalah kumpulan kisah yang terjadi pada kehidupan. Kau boleh perc...