Tangisan

665 43 2
                                    

Bu Lastri berjalan cepat menuju IGD untuk melihat keadaan anak tercintanya.
Nilam  memegangi tangan Billa yang masih belum siuman.
Bu Lastri membuka pintu IGD dan melihat Nilam serta Billa. Mata Bu Lastri terbelalak melihat Billa yang menyedihkan. "Billa kenapa Lam?" Ibu Lastri berjalan perlahan seakan tak percaya yang berbaring itu adalah Billa. Salah satu dari sekian banyak anak panti yang paling dia sayangi.
"Nilam enggak tau kenapa ini terjadi sama Billa bu. Billa belum sempet cerita masalahnya sama Billa kemarin malam,"
Bu Lastri langsung memeluk Billa erat. Nilam mengusap punggung Bu Lastri.
"Seharusnya ibu enggak usah kasih izin kalian berdua untuk pergi. Kalau tadi ibu enggak kasih kalian izin, enggak akan kayak gini akhirnya,"
"Enggak ada yang salah bu. Semua ini udah takdir Tuhan. Sekarang, yang bisa kita lakukan cuman berdoa. Minta sama Tuhan supaya Billa baik-baik aja," Nilam mengembangkan senyum paksanya.
Seorang suster datang untuk mengecek keadaan Billa. "Selamat malam. Bisa saya periksa dulu keadaan Billa?" Nilam mengangguk sambil menuntun Bu Lastri menjauh dari Billa.
Dokter yang tadi menangani Billa menghampiri kami. "Halo Nilam. Selamat malam," sapa dokter itu ramah. Nilam mengangguk sambil senyum tipis. Dokter memutar bola matanya ke Bu Lastri.
"Ini Ibunya Billa ya?" Tanya dokter dengan sopan. "Iya. Saya ibunya dok," jawab Bu Lastri perlahan. "Sabar ya bu. Billa jantungnya kumat. Sepertinya dia stress. Kasihan,"
Bu Lastri makin menangis. "Kami akan berusaha semampu Kami supaya Billa bisa kembali seperti semula lagi,"
Setelah suster selesai mengecek keadaan Billa, suster itu tersenyum pada Nilam dan Bu Lastri. "Maaf. Anda harus mengurus administrasi pembayaran di ruang administrasi rumah sakit,"
Nilam baru ingat bahwa dia harus membayar biaya rumah sakit. "Bu, Nilam enggak punya banyak uang. Gimana dong?" Nilam berbisik pada Bu Lastri. "Ibu juga Nilam," balas Bu Lastri sambil berbisik kembali.
"Ehmn, i..iya sus. Saya ke ruang administrasi sekarang ya," Nilam mengikuti langkah suster yang membawanya ke bagian administrasi.
"Biayanya 10 juta rupiah ya," Mulut Nilam menganga. Membentuk huruf O. "Ehm, gini sus. Sa..saya ... Belom bisa bayar biayanya. Bisa kasih saya waktu enggak? Saya pasti bakal lunasin semua kok. Tapi mungkin, saya nyicil,"
Suster itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Aduh, gimana ya? Bisa sih. Tapi, waktu yang diberikan oleh pihak rumah sakit hanya 3 bulan," jelas suster. "Iya! Saya pasti bisa lunasi selama 3 bulan! Pasti!" Nilam menyanggupi. Nilam segera berdiri dan meninggalkan ruang administrasi.
"Berapa biayanya Lam?" Bu Lastri buru-buru melihat isi dompetnya. "10 juta,"
"Terus kamu mau bayar pake apa ?" Aku tersenyum penuh akal. "Udah, ibu enggak usah mikirin soal itu. Semuanya beres!" Seru Nilam. "Mendingan, sekarang ibu tidur aja. Udah jam 12 malem nih!"
"Kamu ?" Nilam menggeleng. "Aku jagain Billa,"
Setelah itu, ibu duduk di kursi lipat sebelah Nilam. Lalu tertidur dengan punggung menyandar.
"Lo tuh kenapa sih Bil? Kenapa lo sampe kayak gini sih?! " Nilam mengenggam tangan Billa dengan erat. Seperti tidak mau berpisah.
"Gue tuh sayang banget sama lo! Gue enggak mau kehilangan lo! Jangankan kehilangan. Lo sakit aja hati gue udah panik!"
Air mata Nilam jatuh ke tangan Billa. "Gue enggak bisa liat lo kayak gini Bil! Ini salah gue karena enggak bisa jagain lo. Gue nyesel! Kenapa tadi gue biarin lo pergi!!"
         Nilam menangis sesenggukan. Dalam dinginnya malam hari, tanggannya terus menggenggam Billa. Hingga Nilam ketiduran.

This FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang