Chapter 6

8.2K 576 111
                                    

Jam enam pagi aku bangun dalam keadaan pusing luar biasa. Kemarin proses pemotretan Abimana akhirnya berjalan lancar, meskipun disertai perdebatan yang cukup melelahkan antara Kinan dan Abimana.

Dua orang itu masih tetap berseteru. Ada saja yang diperbuat Kinan yang membuat Abimana marah, begitu pun sebaliknya. Selama sesi pemotretan, kulihat Erlang terus menggeram marah untuk melerai perdebatan dua orang itu.

"Bastian? Kok udah bangun? Ini kan hari Minggu, biasanya kamu bangun jam sembilan? Ke gereja kan baru jam sebelas nanti," tanya Kinan yang melihat aku keluar kamar. Mataku masih terasa melekat dan aku yakin jika wajahku juga berantakan karena bangun tidur.

"Gue nggak bisa tidur lagi. Mau nyoba tidur malah kepala gue makin sakit," jawabku lalu merebahkan diri di atas sofa ruang tamu.

"Kamu sakit?" tanya Kinan cemas. Dia mendekatiku lalu menempelkan punggung tangannya ke atas keningku beberapa saat. "Ndak panas, tuh?" katanya lagi.

"Migrain gue kambuh kayaknya," jawabku sambil menarik-narik rambutku untuk mengurangi rasa pening yang mendera.

"Kamu kecapekan sama kurang tidur kayaknya. Tak beliin obat ya di apotek? Sekalian aku mau belanja buat makan siang nanti sepulangnya dari gereja. Stok bahan masakan di kulkas juga udah habis," jawabnya sambil membenarkan letak bantal sofa di bawah kepalaku. Kinan juga merapikan rambutku yang berantakan dengan jari-jarinya. Aku pun mengangguk mengiyakan.

"Kamu mau sarapan apa?" tanyanya kemudian.

Aku diam sejenak karena rasa sakit yang menusuk-nusuk di kepalaku. Aku juga mendesis lirih karena kini pandanganku mulai berkunang-kunang. Ada ribuan bintang-bintang yang berputar-putar di depan mataku.

"Gue pengin makan bubur ayam buatan lo aja," jawabku lirih.

"Ya udah nanti tak buatin. Aku pergi sekarang aja, deh. Sebentar, aku ambil dompet dulu," balasnya lalu melangkah ke dalam kamar.

Aku kembali memejamkan mataku dan sesekali mendengar pintu yang dibuka dan ditutup kembali, serta suara langkah kaki Kinan yang sepertinya sedang mondar-mandir tak jelas. Entah apa yang dilakukannya saat ini. Aku tak begitu ingin tahu karena kepalaku sudah mulai terasa berat.

"Bas, aku pergi dulu, ya! Ini hapemu, tak taruh di meja. Nanti siapa tahu ada yang nelpon. Itu udah aku buatin susu hangat campur madu. Diminum yo!" ujar Kinan memberi pesan sebelum dia berangkat.

"Hu'um ..., thanks Babe, take care, ya! Naik gojek aja biar cepet!" jawabku dengan suara yang sedikit serak.

"Iya ini gojeknya udah dateng kok. Yo wes, kamu baik-baik ya di rumah. Jangan masukin laki-laki sembarangan pas aku pergi!"

"Nggeh, Ndoro!"

Kinan terkikik lalu melangkah pergi. Terdengar suara pintu dibuka lalu sedetik kemudian, ditutup kembali. Suara langkah kaki Kinan juga sudah tak terdengar lagi di ruangan ini. Sekarang, dia pasti sudah sampai di dalam lift di ujung lorong apartemenku.

Setelah kepergian Kinan, aku bangkit dari sofa dan merebahkan kepalaku sejenak di sandaran sofa untuk menetralkan pandanganku yang masih berkunang-kunang. Aroma susu putih yang hangat ditambah dengan madu menguar di hidungku yang mulai kembang kempis karena mencium aromanya.

Segera saja kuraih gelas tinggi berisi cairan putih kental itu dan meminumnya dalam beberapa teguk. Cairannya perlahan membasahi kerongkonganku yang terasa kering sejak tadi. Rasanya benar-benar nikmat. Seperti meneguk cairan sperma milik Erlang.

Tidak! Aku bercanda.

Aku bahkan belum pernah meneguk cairan milik Erlang. Kalau merasakan cairan itu meluberi pantatku sih, sudah kurasakan beberapa kali. Rasanya lengket dan hangat. Damn! Aku menginginkannya lagi sekarang. Ini pasti karena aku membayangkan warna susu yang aku minum tadi.

SOULMATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang