Chapter 10

7.3K 480 86
                                    

"Tolong kalian semua pergi dari sini! Saya ndak akan klarifikasi apa pun. Kalau kalian semua ndak mau pergi, saya akan laporkan kalian semua ke polisi dengan tuduhan mengganggu privasi orang lain!" teriak Kinan sebal dan langsung menutup pintu apartemenku dengan bunyi berdebum. Aku berjengit kaget waktu pintu itu tertutup.

Setelah itu, Kinan menuju pesawat telepon dan memencet nomor yang aku tidak tahu siapa yang dihubunginya sekarang.

"Halo ... iya Pak, ini Kinan penghuni apartemen lantai tiga nomer tiga puluh. Bisa minta tolong usir para wartawan ini dari depan pintu? Kalau perlu laporin ke polisi kalo mereka ndak mau pergi. Dan tolong kalo mereka ke sini lagi, jangan ijinin mereka masuk!" kata Kinan yang sepertinya menelepon security apartemen. "Iya Pak, makasih banyak," katanya lagi lalu menutup teleponnya.

Aku kasihan melihat Kinan yang sangat stres selama dua hari ini sejak peristiwa menyebalkan di Senci dua malam lalu. Seperti dugaanku, berita mengenai calon 'istri' yang diucapkan Abimana waktu itu, membawa polemik tersendiri buat Kinan. Gosip seperti itu akan mudah sekali menyebar. Mengingat Abimana adalah salah satu orang yang amat tersohor di negeri ini.

"Babe, rebahan sini! Lo kelihatan capek banget. Sini biar gue pijitin kepala lo!" kataku seraya mengulurkan tanganku, menyuruhnya mendekat. Aku menepuk bantal sofa yang kuletakkan di atas pangkuanku sebagai isyarat agar dia merebahkan kepalanya di sana.

Kinan mengusap wajahnya frustrasi. Dan terlihat mengembuskan napas berat. Dia lalu berjalan ke arahku lalu duduk di sampingku.

"Lihatkan gimana ulah Abimana?! Dia bikin hidupku ndak tenang. Sampe kapan aku bakal dikejar-kejar sama kuli tinta itu?" gerutunya lalu berbaring merebahkan kepalanya di pangkuanku. "Kepalaku pusing banget, Bas," katanya lagi.

"Iya gue tahu, besok kita kan liburan. Ntar lo bisa refreshing sepuasnya di sana," jawabku sambil memijat pelipisnya perlahan-lahan. Kinan terlihat mulai memejamkan matanya menikmati pijatanku.

"Aku ndak yakin bakalan bisa refreshing di sana. Gimana kalo kutu busuk itu bikin ulah lagi dan ndak mau tanggung jawab kayak gini?"

"Ya udah, lo jauh-jauh aja dari dia. Biar lo nggak dipusingin sama ulah dia," kataku seraya tersenyum lembut yang tak dilihat oleh Kinan karena matanya masih tetap terpejam.

"Andai aja aku bisa jauh dari dia," gumamnya lirih. Aku mengerutkan keningku berusaha mencerna gumaman Kinan.

"Maksud lo gimana?" tanyaku bingung.

"Bukan apa-apa, udah lupain aja!" katanya mengelak. "Tolong lebih kenceng lagi, Babe. Pijetanmu enak banget, aku jadi ngantuk sekarang," ujarnya kemudian.

Aku terkekeh mendengar ucapannya. "Tidur aja, Babe! Lo kurang tidur dua hari ini," ujarku seraya menambah tingkat kekencangan pijatanku di pelipis Kinan seperti permintaan gadis itu.

Kinan mengangguk patuh. "Aku tidur dulu ya, ndak papa kan kalo aku tidur di pangkuanmu? Nanti kalo kamu capek, kamu boleh pindah," pesannya sebelum benar-benar tertidur.

"Udah tenang aja, cepet buruan tidur! Mumpung nggak ada yang gangguin lo sekarang," jawabku. Kinan mengangguk dan mulai mencari posisi ternyamannya sambil tetap aku pijat.

Aku menghela napas prihatin melihat Kinan menanggung semua masalah ini sendirian. Abimana sama sekali tak mau bertanggung jawab dengan masalah yang ditimbulkannya.

Belum lagi, Kinan harus menahan kekesalannya karena setiap waktu ponselnya berdering dari beberapa media massa dan elektronik yang mengejarnya seperti buronan.

SOULMATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang