Chapter 14

5.3K 400 51
                                    

Di multimedia ada cast Veronica.

***


Sampai dengan hari ini aku tidak mengerti mengapa Erlang terus menghindariku. Dia sama sekali tak menghubungiku sejak sepulangnya dari Belitung dan hebohnya pemberitaanku dengannya, tetap tak membuat Erlang repot-repot mengklarifikasi ataupun menenangkan kegelisahanku.

Setiap kali aku mencoba menghubunginya, Erlang tak pernah mau menjawab telepon maupun semua pesan yang kukirimkan padanya.

"Belum dijawab juga, Bas?" tanya Kinan sambil meletakkan segelas susu putih campur madu ke atas meja ruang tamu. Kinan akan selalu membuatkanku minuman itu jika aku sedang gelisah.

"Gue nggak ngerti kenapa dia diem aja sampai sekarang ini, Nan? Ini nggak bener banget! Dia ngapain aja? Kenapa nggak ada ngomong sedikit pun sama gue?" ujarku frustrasi.

Aku menghempaskan bokongku ke atas sofa dan mengembuskan napas berat. Kuraih gelas susu di depanku, menghirup aromanya sebentar kemudian meneguknya dalam sekali teguk hingga tandas.

"Mungkin Erlang masih sibuk, Babe. Dia kan baru aja diangkat jadi direktur, kerjaan dia makin banyak sekarang. Dia juga ndak pernah ada di kantor sekarang-sekarang ini," jawab Kinan mencoba menenangkan kegelisahanku.

"Tapi kan harusnya bisa angkat telpon gue sekali aja, ini udah hampir seminggu dia nggak ngomong sama gue. BBM gue aja nggak di-read sama sekali. Siapa yang nggak curiga kalo gini kejadiannya?!" dumelku kesal.

"Kamu coba lagi aja, siapa tahu diangkat!" ujar Kinan menyerah dan ikut mengembuskan napas berat.

Aku mengikuti saran Kinan dan kembali mencoba menghubungi Erlang. Cukup lama panggilanku diabaikan olehnya sampai di detik terakhir aku sudah lelah mencoba, sambunganku pun akhirnya diangkat juga olehnya.

"Heh, pecun! Ngapain lo telpon-telpon calon suami gue? Dasar homo nggak tahu diri!!"

Sebuah sapaan kasar membuatku seketika tersentak kaget. Aku tidak tahu jika ponsel Erlang sudah berganti kepemilikan saat ini. Hatiku mendadak tersulut api kemarahan yang berkobar menjalari tubuhku mulai dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun.

"Lo yang pecun! Ngapain lo angkat telpon Erlang?" tanyaku balik yang tak kalah kasar.

Dia tertawa mengejekku saat ini, terdengar sekali bagaimana dia mendengus lalu terkekeh senang karena berhasil memancing amarahku.

"Lo pasti nggak tahu kan, kalo sekarang ini gue lagi dinner romantis sama Erlang? Dan asal lo tahu aja, sejak tadi lo udah ganggu acara makan malam kami dengan telpon berisik lo itu!" katanya mengejekku.

Mataku membeliak kaget. Rahangku mengetat dan tanganku meremas bantal sofa yang berada di pangkuanku dengan sangat kuat. Kinan yang melihat keanehan yang terjadi dengan ekspresi wajahku pun mengernyit bingung. Dia menatapku dengan sejuta tanya bersarang di kepalanya saat ini.

"Ke mana Erlang? Kenapa lo yang jawab telponnya?" tanyaku yang tak menggubris ucapannya barusan.

"Lo nggak perlu tahu! Yang jelas, sebentar lagi kami berdua akan segera menikah. Dan lo! Jangan coba-coba deketin dia lagi atau gue bakal—"

"Vero!! Apa-apaan sih kamu? Kenapa kamu angkat telpon aku? Kamu ngomong sama siapa?!" bentak seorang lelaki yang aku yakin itu adalah suara Erlang.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara berisik di seberang dan sepertinya Erlang merebut ponselnya dari tangan Vero. Tak lama setelah itu, sambunganku terputus begitu saja. Aku diam terpaku saat panggilan itu sudah berakhir.

SOULMATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang