"Bas, kita pulang yuk! Ini udah jam lima lebih loh. Mau sampai kapan kamu nunggu di sini?" tanya Kinan khawatir.
Aku menggigit kuku tanganku dengan cemas. Sayang sekali. Padahal seminggu yang lalu aku baru meni-pedi dan sekarang harus rusak lagi. Ew! Aku benci ini. Tapi aku benar-benar khawatir. Erlang belum juga kembali dari tadi. Aku takut sesuatu akan terjadi dengan hubungan kami berdua nanti.
"Tapi Erlang belum balik juga dari tadi, Nan. Gue takut terjadi sesuatu sama dia," jawabku cemas.
"Emangnya apa yang bakal terjadi? Mereka itu Ayah dan anak, Bas. Ndak akan terjadi sesuatu. Udah, ndak usah takut gitu. Mending kamu berdoa semoga hubungan kalian baik-baik aja. Dan berpikirlah yang positif!" ucap Kinan menenangkanku.
Dia mengelus pundakku dengan lembut. Aku menatap mata Kinan mencari kekuatan dari sana dan aku mendapatkannya. Tatapan mata Kinan selalu bisa menenangkanku. Aku pun akhirnya mengangguk dan mengikuti apa katanya.
"Ya udah, kita pulang aja, yuk! Tenangin pikiranmu di rumah. Nanti aku buatin susu hangat buat kamu," katanya lembut.
"Ya udah kalo gitu," jawabku lalu segera mengambil kunci mobil juga jaketku.
Saat aku keluar ruangan, di situlah aku melihat Erlang berjalan ke arah ruanganku. Aku lihat wajah Erlang sama sekali tak berubah sejak meninggalkan ruang desain siang tadi dan malah semakin terlihat suram saat ini.
Kinan melihat ke arahku dengan pandangan bertanya-tanya, sama sepertiku. Aku menggelengkan kepalaku tanda bahwa aku juga tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Mas, apa semuanya baik-baik aja?" tanyaku setelah Erlang sudah dekat.
Erlang menatap tajam padaku. Aku tidak tahu mengapa dia menatapku dengan tatapan seperti itu.
"Ngapain kamu masih di sini?" tanyanya dingin. "Pulang sana!" perintahnya setelah itu.
Aku berjengit mendengar nada dinginnya. "Sayang, aku khawatir dari tadi. Jadi aku nungguin kamu di sini," jawabku mencoba tak ikut tersulut emosi.
"Aku bilang, pulang!" perintahnya masih tetap dingin.
"Mas, tapi ak—"
"PULANG, BASTIAN!!!" bentaknya padaku dengan nada tinggi dan sorot mata tajam.
Aku kaget setengah mati. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Erlang di dalam ruangan ayahnya tadi. Dan aku juga tidak menyangka jika dia akan membentakku seperti ini. Sampai-sampai badanku gemetar karena takut.
"Erlang, udahlah! Ndak perlu ngebentak gitu. Dia cuma khawatir!" ucap Kinan menengahi. Erlang diam saja, lalu melengos menatap tempat lain saat melihat mataku yang sudah berkaca-kaca.
"Aku ke dalam dulu!" katanya kemudian dan pergi begitu saja meninggalkan aku dan Kinan yang diam menatap kepergiannya. Mataku semakin memanas karena perlakuan Erlang barusan.
Kinan mendekatiku lalu mengelus pundakku. Tubuhku yang tadinya tegang kini mulai terguncang karena air mata. Hatiku terasa sakit karena Erlang telah membentakku. Baru kali ini aku melihatnya semarah tadi dan menjadi sasaran amarahnya seperti ini.
"Bas, ssst ... udah, ndak usah nangis! Erlang mungkin tadi lagi kacau dan khawatir karena kamu belum pulang. Tenang, ya!" ucap Kinan yang kini sudah memelukku erat.
"Bawa gue pulang, Nan!" pintaku padanya.
"Ya udah kalo gitu. Aku panggil Mas Heru dulu, kayaknya tadi masih ada di pantry. Kamu ndak mau kan kalo kita berdua masuk rumah sakit gara-gara aku yang nyetir?" ujar Kinan menghiburku. Aku tertawa dalam tangis. Aku lupa jika Kinan tidak bisa menyetir mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOULMATE
Tiểu Thuyết Chung[COMPLETED] _________________________ Ini adalah kisah tentang Bastian Wijayaputra si gay bottom yang sedikit anggun. Juga sahabatnya, Kinanti Ayuningtyas yang keras kepala dan di usianya yang ke 30 tahun belum juga menemukan jodohnya. Mereka berdua...