8. Hari pertama tanpa komunikasi (pagi)
~GAC - Jangan Parkir~
(Revisi)
~~~
Hari pertama tanpa komunikasi (Pagi)Caca pov.
Pagi ini aku bangun tanpa senyum indah milik Senja. Biasanya saat aku turun ke lantai bawah, dia sudah duduk di ruang makan dan menungguku. Tapi kali ini, hanya ada makanan yang sudah disiapkan mama di atas meja makan.
Walau malas tapi aku tetap duduk di meja makan, memaksakan makanan yang tak terasa enak masuk ke dalam mulutku. Aku sudah terlalu terbiasa dengan adanya Senja bersamaku, rasanya aneh jika tidak melihatnya pagi hari merecoki rumahku.
Aku mengehela nafas lelah dan mencoba menerima semuanya. Toh hanya tiga puluh hari, ah tapi sehari saja rasanya sudah semelelahkan ini. Padahal ini masih pagi, tapi rasanya aku sudah malas melakukan apa pun.
"Assalamualaikum, Caca berangkat!" ucapku walau tak ada sahutan.
Haha lucu ya, mana bisa ada yang menyahut. Mama pasti sudah ke kantor, dan aku hanya tinggal beruda dengan mama. Kadang Senja menginap di sini, tapi tiga puluh hari ke depan sepertinya rumahku akan sepi tanpa keusilan dan kelebayan Senja.
Saat aku keluar dari rumah aku dikagetkan oleh seseorang malaikat yang mengenakan blangkon di kepalanya. Kalian tau blangkon kan? Itu loh pakaian jawa yang dipakai di kepala, yang biasanya dipakai orang keraton bagi yang laki-laki. Yang bentuknya unik gitu. Tau kan?
"Maaf?" tanyaku pada cowok yang berpakaian jawa di depanku ini.
"Oh hai, saya baru di sini. Maksud saya, saya baru pindah dari Jawa," kata cowok itu dengan logat jawanya yang sangat kental. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan keramahan, datar sedatar papan selancar.
"Terus?" tanyaku tidak tau apa yang dia maksudkan.
"Eh itu, saya tinggal di rumah yang besar di situ." Aku mengernyitkan dahiku makin bingung. "Ah begini saja, saya diminta budhe Santi ke sini. Tanya ke kamu, apa kamu bisa bantu saya mengatur kepindahan saya ke sekolah baru saya."
Aku menggigit kuku dan kembali menatapnya. "Kenapa lo nggak minta bantuan sama bude lo?" tanyaku.
Budha Santi atau aku biasanya memanggil tante Santi itu tinggal di rumah yang berseberangan dengan rumahku. Dia dengan suaminya sangat baik pada anak-anak. Dulu saat aku masih kecil, sering kali aku main ke sana. Tapi setelah besar baru aku mulai jarang main ke rumahnya.
"Budhe saya sama pakdhe masih di singapura. Jadi saya tinggal sendiri di sana, karena saya belum tau daerah sini jadi budhe minta bantuan sama kamu. Kamu tinggal bantu jalan sampai ke sekolah saya, setelah itu saya akan lanjutkan sendiri." katanya dengan kesal. Aku sebenarnya sejak tadi ingin tertawa mendengar logat jawanya yang aneh. Aneh untuk pendengaranku yang orang kota mungkin.
"Emang lo sekolah di mana?" tanyaku lagi.
"Di SMA Arjuna. Kamu tau?" aku mengangguk, siapa yang tak tau SMA Arjuna, sekolah nomor satu dalam bidang akademik itu diidam-idamkan semua orang. Sayang sekali aku bodoh jadi tak bisa masuk ke sekolah itu, holly shit aku tarik kata-kataku, aku bukan bodoh tapi telat pintar. Nah itu lebih tepat! Aku kembali menatapnya, mengamati pakaiannya. "Tapi lo ganti baju lah, masa iya lo mau ke sekolah pake kayak gitu."
"Tapi saya nggak akan malu-maluin kok, toh sekalian mau mempekenalkan asal daerah saya." Aku menggelengkan kepalaku mendengar penuturannya.
"Gue nggak mau nganter lo kalo pada akhirnya gue bakal malu jalan sama lo!" kataku kesal. "Buruan, udah mau jam setengah tujuh nih. Lima belas menit ganti baju abis itu lo gue anterin."
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days
Teen FictionSenja Retama Putra dan Raisa Inara Putri. Pacaran lima tahun ternyata bisa goyah dan putus hanya karena 30 hari tanpa komunikasi. Permainan konyol yang dibuat oleh Litha dan Jati, membuat Caca dan Senja merenggang. Duduk sebangku, yang jaraknya...