.
.
.
Dia bilang, dia tidak percaya cinta.
-x-
"Sejak kapan kau suka memakai jam tangan?"
Hanna menoleh pada Yubin, salah satu rekan kerjanya. Hanna sedang menyimpan tas dan pakaian biasanya di loker saat Yubin melihat tangannya.
"Sejak seseorang memberikannya," jawab Hanna sambil meluruskan seragamnya dan memeriksa rambutnya di kaca kecil yang ditempelkannya di bagian dalam pintu lokernya.
"Irinya," gumam Yubin. "Sepatu yang bagus, lalu jam tangan. Kekasihmu baik sekali."
Entah kenapa wajah Hanna bersemu mendengar kata kekasih, lalu ia buru-buru meralat, "Bukan kekasih. Ini dari adikku."
Yubin mengerjap-ngerjap. "Hanjoon? Atau adikmu yang dokter itu?"
"Bukan."
Kali ini, Yubin mengerutkan dahinya. "Mana mungkin Hanbyul?" balasnya, lebih pada dirinya sendiri. Sepatu merah marun yang dipakai Hanna itu setidak-tidaknya satu juta, dan kecuali Rolex itu palsu, harganya bisa mencapai ratusan juta. Sama sekali tidak masuk hitungan saku anak SMA pembuat onar seperti Hanbyul.
Hanna menggeleng singkat. "Bukan Hanbyul juga."
Yubin bersedekap. "Adikmu ada berapa sebenarnya?"
Hanna menyengir, lalu menutup pintu lokernya. "Banyak," katanya singkat, yang tidak lazim, karena biasanya ia akan merocos tentang apa saja bahkan tanpa ditanya. "Ayo."
"Adik macam apa yang begitu baiknya sampai membelikan barang-barang bermerek untuk kakaknya?" celetuk Yubin sementara mereka berdua berjalan meninggalkan ruang ganti. "Kalau masih ada, tolong kenalkan satu padaku."
Hanna hanya menanggapinya dengan tertawa. "Nanti," jawabnya sambil lalu.
***
Sehun menatap rindu Porsche-nya yang baru selesai diperbaiki. Penyok dan goresannya lenyap sudah. "Terima kasih. Aku berutang satu padamu."
Zitao yang berdiri di hadapannya bersedekap, lantas mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya. "Dua," katanya. "Kau membuatku kalah taruhan juga."
Sehun memutar-mutar kunci mobil di tangan kanannya. "Itu yang terakhir."
Zitao mendengus skeptis. "Apa yang salah? Pikiranmu seperti berada di dunia lain selama di arena."
Sehun tidak membantah atau menyetujui, tapi itu benar. Pada balapan beberapa hari yang lalu, setelah makan malam dengan Hanna di rumahnya, lalu melihat gadis itu bolak-balik di hadapannya dengan sepatu yang diberikannya, yang diakhiri dengan kedatangan Hayoung, ia merasa seolah pikirannya penuh kabut. Sehun bahkan tidak tahu pasti apa yang sebenarnya mengganggunya.
"Tanganmu sudah sembuh?" tanya Zitao.
Sehun menunduk menatap tangan kirinya yang dibebat (tidak terlihat dari luar karena ia memakai jaket). Tabrakannya dengan bagian depan Nissan si pendatang baru—yang namanya tidak Sehun ingat—tidak hanya membuat Porsche-nya rusak, tapi tangannya ikut menjadi korban karena keputusannya yang tolol, membanting setir ke kiri untuk menghindari pagar pembatas saat si Nissan sedang mengebut untuk menyusulnya. Si pendatang baru berjanji tidak akan kembali ke arena karena "ada orang yang suka membawa sial untuk mobil orang lain" (setelah sebelumnya dengan Audi milik Luhan).
"Sudah lebih baik," jawab Sehun.
Sementara Zitao mengutak-atik mobil lain, Sehun duduk bersila di lantai garasi, mengacak-acak isi kotak perkakas merah karatan yang bercoreng-moreng oli. Setelah beberapa waktu yang hening (kecuali suara-suara mesin), Sehun melirik pergelangan tangan kirinya untuk mengecek waktu, tapi tidak ada apa-apa di sana. Rolex favoritnya sudah dipakaikannya pada Hanna.

KAMU SEDANG MEMBACA
Racy Lady
Fanfic[trilo(ve)gy 2--for you who don't believe in love] Tidak ada kebaikan cuma-cuma di dunia ini. Semua manusia terhubung dengan satu sama lain karena kebutuhan, bukan perasaan--apalagi hal seabstrak cinta. Oh Sehun sudah membuktikan hal ini sendiri...