.
.
.
Pada satu titik, kita berhenti pura-pura.
-x-
"Jadi, kau temannya Sehun?" Hanna menoleh dan bertanya pada Luhan yang duduk di belakang kemudi, pandangan terarah pada jalanan. Di rumah sakit tadi, laki-laki itu sempat menyebut-nyebut nama Sehun, dan rasa penasaran membuat Hanna langsung setuju saat Luhan menawarkan untuk mengantarnya pulang (selain untuk menghemat ongkos taksi, tentu saja).
"Bisa dibilang begitu," jawab Luhan. "Tapi kami bertemu hanya di arena."
Hanna menyipitkan matanya diam-diam "Arena balapan?" Ia berusaha membuat nada bicaranya biasa, tapi kedengarannya masih seperti menuduh.
Luhan mengangguk.
Seketika Hanna merasa agak tidak menyukainya. Ia tahu tidak boleh menilai seseorang lewat stereotipe, tapi siapa yang tahan, terutama saat jelas-jelas ini salah satu orang yang berperan dalam kegiatan berbahaya dan ilegal yang sama sekali tidak ia setujui.
Lucu, betapa hal itu tidak memengaruhi pandangannya pada Sehun.
"Kau bilang kau tetangganya?" Luhan balas bertanya seolah tidak menyadari ekspresi masam Hanna.
Hanna mengangguk. "Dia pindah ke sebelah rumahku sekitar dua bulan yang lalu."
"Ah."
Hanna merasa 'ah' singkat itu berarti banyak, dan benar saja, sesaat kemudian Luhan menambahkan, "Aku pernah mendengar sedikit tentangmu."
Mendadak Hanna menjadi lebih awas dengan sekitarnya. "Sehun membicarakanku?" tanyanya, was-was. Apa yang kira-kira Sehun katakan tentangnya? 'Aku punya tetangga yang sangat bawel dan suka bicara', 'Tetanggaku penggemar berat sushi', 'Tetanggaku memanggilku 'Adik Kecil'', atau sesuatu seperti 'Kemarin aku ciuman dengan si tetangga? Ya Tuhan, itu memalukan sekali.
Luhan terkekeh pelan. "Tidak, tidak tepat seperti itu," katanya, dan Hanna bertanya-tanya apakah laki-laki itu bisa membaca pikirannya, atau setidaknya wajahnya yang merona. "Aku hanya tahu sedikit-sedikit dengan tidak sengaja."
Hanna tidak mengerti maksudnya, tapi ia memutuskan tidak bertanya, khawatir perkara ciuman (tidak sengaja) itu benar-benar pernah tersebar di arena. Sehun memang tidak tampak seperti tipikal orang yang suka bergosip mengenai masalah pribadi, tapi siapa tahu saja, kan? Lebih baik tidak coba-coba.
Sayangnya Hanna bukan orang yang bisa menahan rasa penasaran terlalu lama. Jadi, ia mencoba menyetir pembicaraan dari dirinya ke hal-hal umum, dengan harapan ia bisa mendapat gambaran apa kira-kira yang mungkin Sehun bicarakan tentangnya. "Apa Sehun sering membicarakan teman-teman lainnya?"
Luhan memiringkan kepalanya sedikit, terlihat sedang mengingat-ingat. "Tidak," jawabnya kemudian. "Aku tidak ingat dia punya teman, di luar mau pun di dalam arena."
Baiklah, sia-sia.
Luhan menoleh sekilas ke arahnya. "Mungkin hanya kau."
Hanna baru tahu betapa satu kalimat bisa mengubah seluruh hari. Tiba-tiba saja langit terlihat lebih cerah, dan kakinya tidak lagi terasa sakit. Ia menundukkan kepalanya, dan liontin di balik kemejanya tampak berkilauan. Secara refleks Hanna mengangkat tangan kanannya untuk menyentuhnya.
"Sehun bukan orang yang mudah," kata Luhan. "Kalau kau bisa menghadapinya, kau pasti benar-benar istimewa."
"Tidak juga," Hanna mengelak, meskipun perkataan itu membuat sudut-sudut mulutnya terangkat tanpa bisa ditahan. "Sehun memang terlihat agak berjarak, dan orang-orang yang belum mengenalnya mungkin salah paham, tapi sebenarnya dia sangat baik dan menyenangkan. Kami sering pergi bersama, makan bersama, kadang aku memasak di rumahnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Racy Lady
Fanfiction[trilo(ve)gy 2--for you who don't believe in love] Tidak ada kebaikan cuma-cuma di dunia ini. Semua manusia terhubung dengan satu sama lain karena kebutuhan, bukan perasaan--apalagi hal seabstrak cinta. Oh Sehun sudah membuktikan hal ini sendiri...