Chapter 14

13.2K 999 308
                                    

.

.

.

Janji kita, akan kutepati.

-x-




Tampak jelas dari matanya, gadis itu terkejut.

Tentu saja, tidak semua orang mendapat kesempatan langka melihat kembali orang yang diketahui—seharusnya—sudah mati.

"Oh... Sehun," Hanna membisikkan nama itu dengan suara serak yang hampir kalah oleh suara angin malam, tapi Sehun bisa membacanya dari gerak bibir gadis itu.

Setelah beberapa detik keraguan, Sehun membalas, "Song Hanna."

"Kau... di sini—kau tidak—"

Sepasang mata yang menatapnya semakin membulat. Sehun menyadari Hanna bukan hanya sekadar terkejut—ia ketakutan.

"Hanna-ya." Sehun mendekat selangkah, bermaksud untuk menenangkannya, tapi Hanna sontak ikut melangkah mundur, lantas ia segera berbalik pergi. Secara impulsif Sehun menyusul dan meraih tangannya. "Song Hanna."

"Lepaskan aku. Kau bukan—kau bukan Sehun." Hanna menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia berusaha menggeliat dari pegangan Sehun. "Lepaskan!"

Hanna berontak lebih keras, tapi Sehun mempererat pegangannya. Segelintir pejalan kaki mulai menoleh ke arah mereka berdua. "Song Hanna, dengarkan—" Kalimatnya diputus ketika Hanna berteriak memakinya dan melepaskan diri dengan segenap tenaga, kemudian menampar pipi kiri Sehun keras-keras.

Bahu Hanna naik-turun dengan cepat seiring napas memburu yang diembuskannya lewat mulut. Gadis itu berderap menjauh, kali ini Sehun tidak berusaha mencegahnya, tapi hanya beberapa langkah kemudian ia berhenti. Setelah mematung di sana selama sesaat seolah sedang berdebat dengan diri sendiri, ia kembali berbalik dan berjalan kembali ke hadapan Sehun. Kedua bola matanya merah dan berkaca-kaca.

"Aku menangis untukmu," Hanna berkata rendah, suaranya yang biasa ramah sarat amarah. "Kupikir aku tidak bisa melihatmu lagi. Kupikir kau sudah mati. Tapi, kau di sini sekarang. Kau... bisa-bisanya kau?"

Kedua tangan Sehun terkepal di sisi-sisi tubuhnya. Aku tahu. Aku bersalah. Aku—

Sehun tidak sempat mengucapkan permintaan maafnya karena Hanna tahu-tahu memeluknya begitu kencang sampai udara serasa terpompa keluar dari paru-paru Sehun.

"Keparat. Berengsek. Kau benar-benar keterlaluan." Hanna mencengkeram bagian belakang mantel Sehun begitu keras. Ia tidak lagi berusaha menahan tangis. "Syukurlah. Syukurlah kau tidak apa-apa."

Hanna tidak langsung bertanya 'kenapa' atau 'bagaimana', ia hanya terus menggumam syukurlah, seolah apa pun yang terjadi tidaklah penting selama Sehun ada di sana.

Sehun berdiri kaku, terkejut, tapi detik berikutnya ia melingkarkan kedua tangannya di bahu Hanna dan mendekapnya erat-erat di dadanya. Ini dia. Ini dia. Inilah yang Sehun butuhkan. "Aku minta maaf," ia berbisik di antara rambut Hanna. "Aku benar-benar minta maaf."

***

[Satu setengah jam sebelum kejadian]

Sunyi.

Sehun sudah siap menerima pukulan di kepala atau rasa sakit apa pun yang akhirnya akan menghabisi kesadarannya untuk terakhir kali. Ia menunggu. Tapi, Luhan yang berdiri di hadapannya tidak menunjukkan tanda-tanda akan melakukan apa-apa selain mengecek jam tangan.

Racy LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang