friendly reminder: this is another creepy long ass chapter with too much drama kekeke. kantong muntah siapkan---
.
.
.
Kita, tidak sendirian.
-x-
Hanna berjalan dengan dua rekannya yang lain menuju salah satu kamar VVIP. Susahnya melayani tamu kelas atas adalah; mereka punya banyak permintaan aneh-aneh. Misalnya sekarang, ia memilih sendiri siapa saja yang diizinkannya mengurus kamarnya. Sialnya, itu termasuk Hanna.
Tamu kamar itu adalah seorang pria berperawakan tinggi besar dan berwajah sangar, dengan alis kanan yang terbagi dua karena bekas luka. Sama sekali tidak tampak menyenangkan.
"Ada masalah dengan kamar mandinya," pria itu berkata dengan suara serak menggelegar. "Pipa ... atau apalah, kalian periksa saja sendiri."
Salah satu rekan Hanna sudah akan berjalan ke kamar mandi saat Hanna membalas, "Kalau ada masalah teknis, Anda bisa menghubungi bagian service dengan menekan nomor tujuh di telepon Anda."
Pria itu lantas menatap Hanna, mendelik, lalu memicing pada pelat nama di dadanya dengan cara yang berlebihan. Hanna menahan diri untuk menyilangkan tangannya di depan dada dan menambahkan, "Semua nomor yang Anda butuhkan ada di halaman belakang menu layanan kamar."
"Kenapa kau tidak aku telepon mereka saja, kalau begitu?" balas pria itu sejenak kemudian, masih menatap Hanna.
Hanna menghela napas jengkel diam-diam dan berjalan ke arah telepon di samping tempat tidur, lalu menghubungi bagian service. Begitu ia meletakkan gagang telepon, pria itu berkata padanya, "Dan kau bisa menunggu petugasnya di sini. Yang lainnya boleh pergi."
Hanna sudah membuka mulut untuk berargumen lagi, tapi ia ingat bahwa ia masih dalam masa pelatihan, jadi ia membiarkan rekannya yang menemaninya ke sini keluar sementara ia ditinggal berdua dengan pria itu.
Pria itu melenggang ke arah mini bar. "Song Hanna-ssi, apakah kau minum?"
Hanna menarik napas dan mencoba agar tidak terdengar terlalu ketus saat menjawab, "Tidak."
"Wah, itu lucu, kan?" Pria itu tertawa. "Umurmu berapa? Tujuh belas?"
Hanna tidak menyahut.
"Tapi kau tentu bisa menuang minuman, kan? Aku ingin minum wine."
Ada selusin balasan mulai dari "silakan pilih sendiri" sampai "ogah, ah" yang siap Hanna katakan, tapi ia menahan diri dan berjalan ke mini bar, lalu mengambil sebotol wine dari rak dan gelas bergagang tinggi. Hanna menemukan penarik sumbat gabus untuk membukanya, tapi ia tidak benar-benar mengerti cara memakainya. Kenapa segalanya tampak lebih mudah di drama televisi?
"Kau perlu bantuan?"
Hanna tersentak saat pria itu menyentuh tangannya. Botol wine yang dipegangnya hampir terlepas dan ia buru-buru mundur. "Tidak, terima kasih," katanya. Ia mengalihkan perasaan jijiknya pada pembuka botol dan memutarnya sekuat tenaga, lalu menarik sumbat gabus dalam satu tarikan mantap. Ia menuang wine ke dalam gelas, tidak repot-repot memerhatikan seberapa yang harus dituangnya, lalu mengulurkan gelasnya ke arah pria itu. "Silakan."
Pria itu menatapnya dari bawah ke atas. "Sebenarnya kau lumayan juga .... "
Hanna merasakan tangan di belakang pinggulnya dan tersentak. "Tolong hentikan. Saya memperingatkan Anda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Racy Lady
Fanfiction[trilo(ve)gy 2--for you who don't believe in love] Tidak ada kebaikan cuma-cuma di dunia ini. Semua manusia terhubung dengan satu sama lain karena kebutuhan, bukan perasaan--apalagi hal seabstrak cinta. Oh Sehun sudah membuktikan hal ini sendiri...